TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menyatakan, ada peluang meningkatkan pelayanan yang komprehensif dan lebih bermutu dengan tanpa meningkatkan beban bagi BPJS Kesehatan dan Pemerintah.
Ini dapat diwujudkan melalui penerapan Perpres 82/2018 pada skema “Free & Fee” yang dalam prakteknya peserta kategori Penerima Bantuan Iuran secara gratis dirancang menerima perawatan dasar (basic treatment) pada kelas Rumah Sakit tertentu serta pemberian obat basic yang sesuai ketentuan.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia, Dorodjatun Sanusi mengatakan pada skema Fee peserta yang secara mandiri membayarkan tambahan obat akan mendorong baik pada Rumah Sakit maupun Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Melalui rancangan seperti ini peserta diberikan jumlah obat yang sesuai dengan penyakitnya sehingga tidak perlu direpotkan dengan pembatasan yang selama ini diterapkan.
“Dengan demikian proses perawatan menjadi lebih optimal dan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.”, kata Dorodjatun Sanusi, MBA saat sesi Diskusi Media bertajuk “Evaluasi Kinerja BPJS Kesehatan dalam Aspek Pelayanan Pasien” yang diselenggarakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), di Kantor Pusat PB IDI, Jakarta, Senin (25/3/2019),.
Untuk mendukung skema yang diusulkan tersebut, pelibatan asosiasi profesi (dokter dan spesialis) berperan penting agar dapat menyusun petunjuk pelaksanaan yang detil atas kewajiban rincian komponen obat per jenis penyakit yang sesuai dengan International Therapeutic Management.
Baca: Legislator Dorong BUMN Farmasi Sediakan Obat Terjangkau
GP Farmasi berharap pihaknya dapat berkolaborasi dengan PB IDI, asosiasi profesi, dan asosiasi rumah sakit untuk secara bersama-sama mendorong penerapan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar tidak terjadi defisit BPJS Kesehatan.
“Supaya menciptakan tekanan (pressure) yang cukup kepada pembuat kebijakan. Masyarakat yang memang mampu dan bersedia untuk membayar lebih semestinya diberikan peluang, dan jangan terlalu dibatasi,” kata Dorojatun.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyepakati atas mendesaknya upaya tersebut yang didorong oleh berbagai pihak pemangku kepentingan.
Wakil Ketua Umum 3 Pengurus Besar IDI, Prasetyo Widhi Buwono, mengatakan program JKN yang berupaya enanggung semua aspek layanan kesehatan dihadapkan pada tantangan atas ketersediaan obat yang terbatas.
“Dalam menangani tantangan yang sedang dihadapi, kita memerlukan reformasi sistem kesehatan yang turut mendorong perbaikan dan layanan kesehatan”, jelas Prasetyo di acara yang sama.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menekankan pentingnya penyempurnaan pengelolaan BPJS Kesehatan meskipun secara regulasi Rumah Sakit Swasta tidak diwajibkan berpartisipasi.
Namun demikian peran mereka tetap menjadi kunci dalam mendorong keberhasilan program JKN di Indonesia.
Wakil Ketua Umum ARSSI, Noor Arida Sofiana, mengangkat beberapa masalah yang dihadapi Rumah Sakit Swasta terkait kecepatan dan ketepatan pembayaran tagihan oleh BPJS Kesehatan yang dinilai cukup lambat.