News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Meragukan Keakuratan Rapid Test Deteksi Covid-19? Ahli Beri Penjelasan Soal Itu

Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas medis dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangerang Selatan mengambil sampel darah anggota Panitia Pemungutan Suara ( PPS) yang akan bertugas di tempat pemungutan suara (TPS) saat tes diagnostik cepat (rapid test) COVID-19, di Ciputat , Tangerang Selatan, Banten, (30/11/2020). Rapid test dilakukan untuk memastika tidak adanya petugas yang terpapar COVID-19 saat pelaksanaan Pilkada serentak 2020 Kota Tangerang Selatan pada Rabu (9/12/2020). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Bila tetap non-reaktif, baru orang itu bisa dinyatakan bukan Covid-19.

Petugas memeriksa hasil rapid test (tes cepat) warga di Gelanggang Remaja Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (23/11/2020). Polda Metro Jaya menyelenggarakan bakti sosial penyemprotan cairan disinfektan dan rapid test atau tes cepat Covid-19 karena adanya temuan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 dari jemaah Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di kawasan Tebet. Tribunnews/Herudin (Tribunnews/Herudin)

“Dalam perkembangannya, ternyata tes antibodi dilakukan juga pada yang tidak ada gejala atau tidak memenuhi kriteria ODP atau PDP. Terjadilah salah kaprah. Begitu ada yang reaktif, langsung dianggap positif, kemudian jadi ramai. Begitu hasilnya non reaktif, langsung merasa aman,” pendapat dia.

Bahkan, dr. Tonang merasa, pemerintah pun tidak luput dari salah kaprah. Diberlakukan syarat perjalanan, yakni harus PCR atau rapid. Di mana, apabila sudah dinyatakan negatif atau non-reaktif, masyarakat baru diperbolehan melakukan perjalanan.

"Jadilah makin salah kaprah. Untuk dapat terbang, dicari-cari oleh orang-orang agar tetap negatif atau non reaktif," kata dia.

dr. Tonang bahkan pernah mendapati, beberapa kali terjadi, ada orang yang sebenarnya memiliki hasil PCR positif, sengaja tes antibodi dan ternyata masih non-reaktif. Jadilah orang tersebut boleh terbang.

Begitu juga sebaliknya, ada orang yang hasil tes antibodi reaktif, terpaksa PCR dan hasilnya negatif, kemudian bisa terbang.

Lantas, kenapa hasilnya bisa berbeda seperti itu? Padahal jika tes antibodi seharusnya tidak akan berubah hasilnya hanya dalam 1-2 hari.

"Itulah, ada satu episode, bahkan merek alat rapid test sekarang tersedia 100 lebih. Semua mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang diberi kewenangan saat itu. Entah bagaimana memastikan baku mutunya. Baru tanggal 16 Juli 2020, rekomendasi itu semua dicabut, dan dikembalikan ke alur normal. Tapi, siapa yang bisa memastikan di lapangan?" kata dia.

dr. Tonang menilai, sampai sekarang salah kaprah ini masih berlanjut. Di mana, orang menggunakan tes antibodi sebagai tes untuk menemukan orang yang berpotensi menularkan virus corona.

Bahkan, lembaga pemerintah pun melakukan yang sama. Padahal hasil tes antibodi, sekali lagi, tidak tepat untuk menilai risiko penularan.

Untuk menilai risiko penularan, seharusnya menggunakan PCR, atau minimal tes antigen.

"Sekarang semakin banyak tempat untuk periksa PCR. Kalaupun tidak, sudah mulai ada tes antigen. Jadi sebaiknya, tidak lagi mendasarkan pada tes antibodi kalau tujuannnya mencari yang berisiko menularkan Covid-19," jelas dia.

Akibat salah kaprah ini, kata dr. Tonang, sekarang orang-orang mulai protes, misalnya hasil rapid test reaktif kok harus disuruh isolasi, tidak boleh bertugas, tidak boleh masuk kerja, tidak boleh bersosialisasi dan lain sebagainya.

Entah bagaimana, dia menjadi mengkhawatirkan, ada banyak orang yang pada akhirnya melaporkan dirinya ternyata non-reaktif dan menjelaskan hasil rapid test sebelumnya keliru.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini