TRIBUNNEWS.COM - Sebagian orang, mungkin termasuk Anda, meragukan rapid test untuk deteksi seseorang positif Covid-19 atau tidak.
Mungkin Anda berpikir demikian setelah pernah mengalami sendiri atau mendengar informasi mengenai beda tempat rapid test, beda juga hasilnya. Padahal dilakukan dalam waktu yang tidak terpaut lama.
Misalnya, Anda mendapati hasil rapid test di klinik A ternyata reaktif, kemudian mencoba di klinik B ternyata hasilnya non-reaktif.
Jika iya, sebaiknya simak penjelasakan Wakil Direktur Penelitian dan Pendidikan sekaligus Jubir Satgas Covid-19 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo/RS UNS, dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK., Phd., berikut ini.
Dia berpendapat, anggapan rapid test tidak akurat adalah salah satu di antara beberapa kesalahan besar kita dalam menangani Covid-19 di Indonesia.
Baca juga: Satgas Covid-19: Jangan Sampai Keterbatasan Alat Kesehatan Menghambat Hak Masyarakat
Penyebabnya adalah saking banyaknya merek alat rapid test di pasaran, ditambah aturan yang tidak cermat, dan pembiaran berbulan-bulan.
“Jadilah muncul salah kaprah yang sangat salah, yakni rapid test untuk Covid-19 itu tidak akurat,” tutur dia dalam pesan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (1/12/2020).
Menurut dia, awalnya dulu, anggapan ini muncul karena sering terjadi kondisi atau pertanyaan, “rapid test-nya negatif, tapi di-swab kok positif?”
Yang dimaksud di sini, rapid test antibodi atau tes antibodi dan polymerase chain reaction (PCR) atau bukan swab, karena swab adalah pengambilan sampelnya.
“Sebenarnya, bukan pemeriksaannya yang salah. Tapi, kita yang salah dalam memahaminya. Memang ada tempatnya masing-masing,” terang dia.
Baca juga: Dinkes DKI: 437 Orang Kontak Erat Gubernur Anies dan Wagub Riza Jalani Tes Usap PCR
dr. Tonang menerangkan, tes antibodi dan PCR itu beda targetnya atau beda tujuannya. Jadi, tidak bisa dibanding-bandingkan.
Tes antibodi itu tentang, apakah sudah pernah terinfeksi dan sudah muncul kekebalan. Sedangkan, PCR itu tentang "apakah saat ini sedang terinfeksi dan menular".
Jadi, kata dia, beda sekali sebenarnya untuk target kedua tes ini.
Tapi kan memang waktu itu begitu kata pedomannya? Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena di awal pandemi dulu, PCR masih jarang.
Seperti diketahui, di awal masa pandemi, ketersediaan laboratorium yang memeriksa sampel dahak, lendir, atau cairan untuk mendeteksi virus corona penyebab Covid-19 bisa dihitung jari sebelah tangan. Sementara yang ada saat itu adalah rapid test antibodi.
Maka, disusunlah suatu alur untuk dapat diterapkan.
“Bila memang ada gejala, masuk kriteria orang dalam pantuan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), maka dilakukan tes awal dengan tes antibodi dulu. Baru apabila reaktif, diteruskan dengan PCR,” papar dia.
Tapi, dr. Tonang menilai, ada yang luput terjelaskan atau terlanjur salah paham.
Bila memang tersedia pemeriksaan PCR, seharusnya bisa langsung PCR atau tidak lewat tes antibodi dulu. Bila terpaksa tidak ada PCR, baru bisa digunakan tes antibodi dulu.
Dia membeberkan, anggapan salah kaprah berikutnya yang terjadi adalah soal hasil rapid test reaktif pasti positif Covid-19.
Padahal, bila tes antibodi reaktif, seseorang belum tentu positif Covid-19.
“Untuk menyatakan positif, tetap harus dikonfirmasi dengan PCR. Baru jelas, seseorang positif atau negatif Covid-19. Baru jelas apa tindak lanjutnya,” jelas dia.
Namun, kenapa pada waktu itu muncul perintah kalau hasil rapid tes reaktif, seseorang tetap harus melakukan isolasi?
dr. Tonang menjawab, karena sambil menunggu dapat dilaksanakan PCR dan hasilnya.
“Sambil menunggu, agar tidak ada risiko, isolasi dulu. Agar kalau ternyata hasilnya positif, tidak berisiko menularkan virus ke orang lain,” jelas dia.
Tapi, kenapa juga pada waktu itu jika hasil rapid test negatif bisa langsung dinyatakan aman? Menurut dia, sebenarnya tidaklah demikian.
Baca juga: Libur Panjang, Lebih dari 12 Ribu Calon Penumpang Lakukan Rapid Test di Stasiun KA Jakarta
Pedoman waktu itu, jelas dr. Tonang, bila tes antibodi tidak reaktif, itu tidak berarti pasti PCR-nya negatif.
Maka sebenarnya, seseorang tetap diminta melakukan isolasi 10-14 hari, kemudian diulang tes antibodi lagi.
Bila tetap non-reaktif, baru orang itu bisa dinyatakan bukan Covid-19.
“Dalam perkembangannya, ternyata tes antibodi dilakukan juga pada yang tidak ada gejala atau tidak memenuhi kriteria ODP atau PDP. Terjadilah salah kaprah. Begitu ada yang reaktif, langsung dianggap positif, kemudian jadi ramai. Begitu hasilnya non reaktif, langsung merasa aman,” pendapat dia.
Bahkan, dr. Tonang merasa, pemerintah pun tidak luput dari salah kaprah. Diberlakukan syarat perjalanan, yakni harus PCR atau rapid. Di mana, apabila sudah dinyatakan negatif atau non-reaktif, masyarakat baru diperbolehan melakukan perjalanan.
"Jadilah makin salah kaprah. Untuk dapat terbang, dicari-cari oleh orang-orang agar tetap negatif atau non reaktif," kata dia.
dr. Tonang bahkan pernah mendapati, beberapa kali terjadi, ada orang yang sebenarnya memiliki hasil PCR positif, sengaja tes antibodi dan ternyata masih non-reaktif. Jadilah orang tersebut boleh terbang.
Begitu juga sebaliknya, ada orang yang hasil tes antibodi reaktif, terpaksa PCR dan hasilnya negatif, kemudian bisa terbang.
Lantas, kenapa hasilnya bisa berbeda seperti itu? Padahal jika tes antibodi seharusnya tidak akan berubah hasilnya hanya dalam 1-2 hari.
"Itulah, ada satu episode, bahkan merek alat rapid test sekarang tersedia 100 lebih. Semua mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang diberi kewenangan saat itu. Entah bagaimana memastikan baku mutunya. Baru tanggal 16 Juli 2020, rekomendasi itu semua dicabut, dan dikembalikan ke alur normal. Tapi, siapa yang bisa memastikan di lapangan?" kata dia.
dr. Tonang menilai, sampai sekarang salah kaprah ini masih berlanjut. Di mana, orang menggunakan tes antibodi sebagai tes untuk menemukan orang yang berpotensi menularkan virus corona.
Bahkan, lembaga pemerintah pun melakukan yang sama. Padahal hasil tes antibodi, sekali lagi, tidak tepat untuk menilai risiko penularan.
Untuk menilai risiko penularan, seharusnya menggunakan PCR, atau minimal tes antigen.
"Sekarang semakin banyak tempat untuk periksa PCR. Kalaupun tidak, sudah mulai ada tes antigen. Jadi sebaiknya, tidak lagi mendasarkan pada tes antibodi kalau tujuannnya mencari yang berisiko menularkan Covid-19," jelas dia.
Akibat salah kaprah ini, kata dr. Tonang, sekarang orang-orang mulai protes, misalnya hasil rapid test reaktif kok harus disuruh isolasi, tidak boleh bertugas, tidak boleh masuk kerja, tidak boleh bersosialisasi dan lain sebagainya.
Entah bagaimana, dia menjadi mengkhawatirkan, ada banyak orang yang pada akhirnya melaporkan dirinya ternyata non-reaktif dan menjelaskan hasil rapid test sebelumnya keliru.
Padahal, mau reakti atau tidak, sebenarnya belum langsung jelas menunjukkan risiko penularannya.
"Jadilah tujuan sebenarnya tidak jelas tercapainya, tapi kita terjebak 'yang penting tidak reaktif'. Tambah parah jadinya salah kaprah kita. Jadi, Mari kita sudahi salah kaprah ini," ungkap dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Anggap Rapid Test Tidak Akurat Deteksi Covid-19? Sebaiknya Simak Penjelasan Ahli Berikut