Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Tuberkolosis atau TBC menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas ditangani oleh Indonesia. Tiap tahunnya, penderita TBC terdeteksi ada tambahan kasus baru sebesar 845.000 kasus.
Penambahan kasus tersebut membuat Indonesia dinobatkan oleh WHO sebagai negara ketiga pengidap TBC di dunia.
Setelah dua negara lain yaitu India dan Tiongkok.
Bicara soal risiko, anak-anak ternyata rentan terdampak TBC.
Disampaikan oleh dr Rifan Fauzie, SpA daya tubuh anak tidak sekuat orang dewasa. Sehingga anak dapat lebih mudah tertular penyakit TBC.
Baca juga: Hari TBC Dunia: Ini yang Harus Dilakukan untuk Capai Eliminasi TBC di Indonesia pada Tahun 2030
Baca juga: Penderita TBC di Indonesia Bertambah Hingga 845.000 Orang
"Ditambah dengan imunisasi tidak lengkap, stunting atau gizi buruk akan menimbulkan risiko atau infeksi pada anak," katanya pada live streaming Radio Kesehatan, Kamis (25/3/2021).
Sesuai defenisi anak yang berada dalam rentang usia 0-18 tahun, menurut Rifan TBC dapat menyerang dalam rentang usia tersebut. Bahkan bayi lahir sekali pun dapat terpapar. Misalnya lewat sang ibu yang tidak terdeteksi memiliki penyakit TBC.
Ia mengatakan jika setelah lahir akan timbul gejala. Dan gejala yang ditimbulkan jauh lebih berat karena masih baru lahir.
Umumnya, penularan paling sering terjadi penularan kontak erat atau droplet.
Droplet merupakan percikan dari pernapasan bisa ludah, atau cairan yang dapat terhirup oleh anak. Apa lagi ada kontak erat, cukup lama dengan orangtua yang sakit.
Maka yang dilakukan pertama kali adalah mencari riwayat penyakit tersebut. Misalnya lewat keluhan dan pemeriksaan berat dan tinggi badan anak.
Selain itu Rifan juga mengatakan ketika anak tertular TBC, tidak hanya mengobati sang anak. Namun juga dari mana sumbernya.
Sehingga ada istilah investigasi kontak. Oleh karena itu, jika ada anak yang sakit, maka akan dilakukan scanning ke seluruh keluarga yang satu tempat tinggal.