News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Angka Kematian Akibat TBC Meningkat 1,5 Juta Kasus saat Pandemi Covid-19

Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Penderita Tuberculosis (TBC).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Ahli Paru yang juga Mantan Direktur World Health Organization (WHO) Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, akibat Covid-19 program Tuberkolosis (TBC) bisa mundur 5 sampai 8 tahun.

Pada tahun 2021 bulan Januari WHO mengumpulkan data dari beberapa negara dari 84 negara yang menyatakan Covid-19 mengakibatkan tambahan kematian di dunia 1,5 juta orang.

Baca juga: NCT 127 Bakal Gelar Konser Tatap Muka, Jadi Debut Mereka di Era Pandemi

Baca juga: Tindaklanjuti Perpres Penanggulangan TBC, Menko PMK Kumpulkan Informasi di Rumah Sakit

Selama 10 tahun angka kematian TBC turun meski tidak tajam, tetapi di tahun 2020 mengalami kenaikan untuk pertama kalinya.

Sementara untuk kasus TBC yang ditemukan terjadi penurunan yang biasanya selalu naik, yakni di tahun 2020 ditemukan 5,8 juta orang yang mengalami TBC, menurun 18 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang penemuan kasus mencapai 7, 1 juta orang.

Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

"Angka kematian akibat TBC memang selalu menurun tapi turunnya sedikit, tapi sekarang kematian bahkan bertambah 1,5 juta di tahun 2020. Ini data bulan Desember saya kira dipublikasi Januari 2021," ucap Prof Tjandra dalam keterangan yang diterima, Selasa (16/11/2021).

Prof. Tjandra menyebut ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi TBC dan Covid-19 secara bersamaan dengan penatalaksanaan yang sama, antara lain melakukan testing, tracing, surveilans, kontrol dan pencegahan infeksi, dan komunikasi risiko.

"Kita mesti ingat bahwa masalah kesehatan bukan hanya TBC ada juga masalah lain yang perlu ditanggulangi bersama-sama. Kita punya program yang ada di depan mata, barangnya sudah ada, cara diagnosisnya sudah jelas, cara pengobatannya sudah jelas, marilah kita sama-sama dalam melakukan upaya agar TBC ini bisa kita kendalikan di waktu mendatang," jelasnya.

Kasus Covid-19 Landai, Harapan Baru untuk Percepat Stop TBC

Pandemi Covid-19 memperberat upaya penanggulangan tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Diharapkan, saat Covid-19 melandai, penanggulangan TBC dapat dikebut.

Kondisi ini menjadi sorotan Mantan Menteri Kesehatan Prof. Nila F. Moeloek dalam webinar virtual bertajuk "TBC di Indonesia di Masa Pandemi Covid-19 dan Pasca Pandemi Covid-19".

Ia mengatakan pandemi ini menyebabkan keterbatasan mobilisasi baik dari pasien maupun dari tenaga kesehatan ataupun kader kesehatan. Akibatnya program percepatan penanggulangan TBC di Indonesia menurun drastis dibandingkan sebelum Covid-19.

Virus tuberculosis. (mylocalhealthguide.com)

"Oleh karena itu menurunnya kasus Covid-19 harusnya memberikan harapan baru dalam percepatan penanggulangan TBC," katanya dalam webinar tersebut Minggu (14/11/2021).

Covid-19 dan TBC merupakan penyakit yang memiliki kesamaan gejala, yakni batuk, demam, kesulitan pernapasan, dan menyerang paru-paru.

Pengalaman dalam parawatan pasien TBC yang terinfeksi Covid-19 pun masih terbatas, sehingga mereka memiliki hasil pengobatan yang kurang optimal jika pengobatan TBC terganggu.

Sebelum ada Covid-19, program percepatan penanggulangan TBC bisa tinggal landas di tahun 2020 menuju stop TBC di tahun 2030.

Namun, tanpa diduga pandemi Covid-19 terjadi dan menghambat program stop TBC.

Di Indonesia, ada sekitar 845 ribu kasus TBC dari 271 juta penduduk, dengan rata-ratq kematian mencapai 96 ribu kasus.

Sejumlah Analisa dari SEA Regional WHO menyebutkan, penyebab dari terhambatnya percepatan penanggulangan TBC adalah tidak optimalnya penemuan kasus terutama di daerah-daerah karena khawatir tertular Covid-19, laboratorium sibuk menangani Covid-19 sehingga berkurang dalam menangani TBC.

Selanjutnya, ketersediaan obat di beberapa tempat bermasalah. Perawatan dan monitoring pasien TBC terhambat karena pasien tidak berani datang ke fasilitas kesehatan.

Sebagai contoh, program TBC di provinsi Jawa Barat selama pandemi Covid-19 mengalami hambatan. Kekurangan suplai masker N95 dan sarung tangan untuk tenaga kesehatan, dan itu pun tidak semua kabupaten/kota memiliki jumlah persediaan yang banyak.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dr. R. Nina Susana Dewi menilai hal tersebut membuktikan, kemampuan kabupaten/kota dalam menghadapi Covid-19 dan melanjutkan program TBC belum cukup.

Terlebih lagi pandemi Covid-19 merupakan penyakit baru dan belum punya pengalaman dalam mengatasinya.

Tidak hanya itu, kapasitas rawat inap untuk pasien TBC mengalami kekurangan dikarenakan ruang isolasi di beberapa rumah sakit rujukan TBC digunakan untuk perawatan pasien Covid-19.

“Fasilias kesehatan juga membatasi layanan kontak langsung dengan pasien, kemudian jumlah kunjungan terduga TBC ke Faskes berkurang karena kekhawatiran masyarakat tertular Covid-19,” tutur dr. Nina.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini