“Salah satunya kita masih menggunakan antimikrobial seperti jenis-jenis antibiotik. Ini yang sedang kita coba kendalikan untuk penggunaannya supaya lebih bijak, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.
Dampak penggunaan antimikroba yang tidak terkendali kemudian dilepas ke alam atau ke lingkungan maka ini bisa berpengaruh secara tidak langsung.
Pengendalian AMR di bidang hewan juga perlu diperhatikan.
Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian drh. Nuryani Zainuddin mengatakan, Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan berbagai regulasi pengendalian di sektor kesehatan hewan.
Secara tegas pada undang-undang nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 51 ayat 3 menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Selain itu dalam Permentan nomor 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada pasal 4 disebutkan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Pihaknya juga telah melakukan surveilans pada populasi umum unggas broiler, survei di provinsi sumber produksi unggas broiler, dan pengembangan sistem surveilans AMR pada bakteri patogen unggas petelur.
“Perlu diperkuat pengawasan bersama. Pada rantai distribusi antimikroba dari produsen sampai dengan konsumen harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan antimikroba,” kata drh. Nuryani.
Sayangnya, penemuan obat untuk untuk resistensi antimikroba ini jarang ditemukan.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia dr. Benyamin Sihombing mengatakan dalam report tahun 2020, WHO mengidentifikasi dari 26 kandidat antibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia, yang ampuh untuk multidrug-resistant hanya dua.
“Padahal kita mau menargetkan 8 patogen tapi hanya 2 yang berhasil. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistensi antimikroba itu jauh melebihi penemuan antibiotik baru yang ampuh,” ucap dr, Benyamin.
Dr N. Paranietharan yang juga perwakilan WHO untuk Indonesia menuturkan, resistansi antimikroba adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang paling mendesak dan membutuhkan aksi yang dilaksanakan dengan segera.
Berbeda dengan pandemi Covid-19, AMR bukanlah krisis yang tidak terduga dan kita sudah tahu bagaimana cara mencegahnya.
Semua orang harus meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi dan WASH (air, sanitasi, dan higiene).