TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merampungkan proses harmonisasi rancangan peraturan pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada air minum galon dan tengah menunggu proses pengesahannya menjadi Peraturan BPOM.
Perlu diketahui, BPA merupakan senyawa kimia pembentuk polikarbonat, yaitu jenis plastik yang umumnya digunakan pada galon isi ulang dan memiliki potensi bahaya bagi kesehatan.
BPOM menggolongkan BPA sebagai senyawa kimia berbahaya bila sampai berpindah dari kemasan pangan ke dalam produk pangan dan terkonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi tubuh, yakni sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).
Melansir Kompas 14 Oktober 2021, dokter spesialis anak sekaligus anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Irfan Dzakir Nugroho, Sp.A, M.Biomed mengatakan ada lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari paparan BPA secara terus menerus.
Beberapa efek tersebut adalah dapat memicu kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, dan obesitas.
Baca juga: Sampah Plastik Masih Jadi Masalah Krusial Jelang KTT G20 Bali, Siapa Pencemar Terbesar?
BPA memengaruhi hormon endokrin seperti estrogen, androgen, dan tiroid. Sementara itu, paparan BPA yang berlebih pada anak dapat menyebabkan gangguan homeostasis metabolik, gangguan struktur dan fungsi otak, dan efek kesehatan lainnya di usia selanjutnya.
Bahaya BPA terhadap kelompok rentan dan langkah BPOM
Mengingat akan potensi bahaya itu, BPOM pun melakukan pemantauan rutin dan komprehensif atas level migrasi BPA pada fasilitas produksi, sarana distribusi, dan produk AMDK galon isi ulang bermerek yang beredar di tengah masyarakat.
Dengan pemantauan rutin tersebut, setidaknya sejak 2016, BPOM menyimpulkan bahwa level migrasi BPA pada galon isi ulang yang beredar di masyarakat masih dalam level yang aman.
Baca juga: Bali Hasilkan 800 Ton Sampah Plastik Per Hari, WALHI: Penerapan Perda Belum Konsisten
Namun, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang menjelaskan bahwa hasil uji post-market 2021-2022 menemukan migrasi BPA (perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan) pada galon polikarbonat dengan sampel yang diambil dari seluruh Indonesia "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan" dan telah mencapai ambang batas berbahaya.
Menurut Rita, hasil uji migrasi BPA menunjukkan sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaran, serta 24% sampel pada sarana produksi, berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
"Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi. Selain itu, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia,” jelas Rita dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.
Selain itu, BPOM juga melakukan kajian paparan BPA pada konsumen produk galon isi ulang dengan hasil menunjukkan bahwa kelompok rentan lebih banyak terpapar bahaya BPA. Bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.
Terkait akan data potensi risiko ini, BPOM pun mengambil langkah dengan mencantumkan sejumlah pasal terkait pelabelan potensi bahaya BPA pada galon isi ulang dalam draf revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan.