TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof dr Zubairi Djoerban mengatakan penderita HIV/AIDS boleh menikah dengan pasangannya.
Karena hal itu adalah hak setiap warga negara.
Namun ada syarat yang harus diikuti. Apa syaratnya?
Selain calon pasangan harus mengetahui kondisi si penderita HIV/AIDS, dia menjelaskan butuh waktu juga untuk memastikan kondisi hingga pada tidak menular.
"Jadi yang sekarang silakan menikah, setelah jumlah virusnya minim sekali, sehingga tidak menular," ujar pionir dalam penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia ini dalam wawancaranya bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, beberapa waktu lalu.
Berikut petikan wawancara eksklusif Prof dr Zubairi Djoerban bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra:
Prof apakah orang-orang yang sedang penyembuhan tidak boleh melakukan interaksi seksual? Atau kapan saatnya?
Dulu ada pasien bilang aku mau nikah. Saya bilang calonmu sudah tau belum (pengidap HIV)?
Belum kata dia, takut lah dok nggak jadi (nikah). Nikah boleh, tapi harus dipantau karena konsekuensinya calon istri atau suami bisa tertular.
Menikah memang hak setiap orang, tadi tentu, kalau dua-duanya paham dia bisa tertular dan meninggal, ya itu hak mereka.
Kalau sekarang beda lagi. "Dokter, saya mau menikah."
"Enak saja, tunggu dulu," begitu jawab saya.
"Kok ngak boleh, itu kan hak saya."
Paling lama enam bulan, tunggu dulu hingga virusmu akan tidak terdeteksi, dan setelah itu Anda tidak lagi menular.
Dan karena itu keturunanmu nanti juga tidak tertular.
Jadi tunda dulu. Iya tunda dulu, kan sebentar ditunda dulu 3-6 bulan.
Jadi yang sekarang silakan menikah, setelah jumlah virusnya minim sekali, sehingga tidak menular.
Soal kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, dan Prof terlibat di dalam temuan itu, bisa diceritakan?
Pada tahun 1982-1983 saya mendapat tugas belajar ke Perancis belajar lebih jauh mengenai leukimia, untuk memeriksa leukemia yang ternyata yang macam-macam itu diperlukan tes antibodi monoklonal untuk antara lain untuk memeriksa CT form.
Kemudian di tahun 1983 itu saya pertama kali di rumah sakit di bagian selatan Perancis ada kasus pertama itu HIV/AIDS.
Waktu itu virusnya belum ketahuan, hanya keluhannya kekebalan turun lama-lama menurun dan meninggal. Kemudian kekebalannya drop hanya CT form 4,5.
Akhirnya balik tahun 1983 ke Jakarta, dan lapor ke kepala departemen. Kami coba test waria di Taman Lawang, ada beberapa waria yang CT form rendah sekali.
Meskipun CT formnya rendah tapi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian saya tanya pada lingkungan ternyata beberapa orang sudah meninggal. Kebetulan atau entah kenapa dari teman media dari majalah Tempo terbit di majalah Tempo kemudian dipublikasikan di Kongres penyakit dalam tahun 1984. Itu yang waria.
Jadi tahun 1984 baru ketemu mula-mula virusnya. Kemudiam Juli 1985, saya diundang ke pertemuan AIDS pertama dunia di Atlanta di situ kemudian ketahuan virusnya namanya HIV/AIDS.
Nah tes itu kemudian saya bawa ke Indonesia tahun 1986, ada kasus di Rumah Sakit Islam dan saya bekerja di sana. Seoramg perempuan dengan autoimun karena kondisinya lemah saya periksa ternyata positif.
Dan kemudian juga meninggal dan menjadi viral istilahnya. Itu kasus-kasus pertama.
Si X ini, yang terinfeksi HIV, kemudian meninggal, itu dia dapatnya dari mana?
Jadi penularannya bagaimana? Ternyata ada banyak penularannya. Awalnya kita kira hanya seksual saja.
Jadi riwayatnya waktu itu dari Amerika Los Angeles, San Francisco, New York, New Jersey yang di sebelah sana kebanyakan teman-teman muda di kalangan laki sama laki.
Kalau yang di New York dan New Jersey kebanyakan penggunaan narkotika. Jadi gampang ketahuan.
Dan kemudian ketahuan lagi ternyata bisa lewat laki ke perempuan.
Dan kemudian makin banyak ditemukan di Afrika dan di hampir semua benua akhirnya.
Dan ternyata penularan laki ke perempuan dan perempuan ke laki, jauh lebih banyak daripada penularan homoseksual dan dalam tanda kutip orang yang lain seksual, bisa hetero bisa mono, kemudian narkotik, dan ketiga lewat transfusi darah.
Jadi waktu itu pasien-pasien hemofilia mendapatkan faktor 8 ini intinya adalah donor dikumpulkan banyak kemudian diolah, ketika tercemar satu, maka semuanya kena, banyak di Indonesia, kasus yang saya tangani dengan hemofilia.Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 sudah diperbaiki, dan darah yang keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan.
Nah keempat, jadi kalau seorang ibu tertular HIV dan dia hamil, disitu risiko bayinya tertular itu antara 20-30 persen. Namun kemudian kalau ibu ini minum obat maka risiko penularan nol
.Baca juga: Bantu Proses Persalinan Ibu Hamil Positif HIV, Bisakah Nakes Tertular? Begini Kata Prof Zubairi
Baca juga: Gejala HIV pada Laki-Laki, Ini Gejala Paling Umum
Sekarang di banyak negara bagian di Amerika tidak ada lagi bayi lahir dari ibu yang positif yang tertular karena si ibu minum obat.
Namun kenyataannya di Indonesia berbeda karena ibu ini ternyata tidak semua ibu hamil tes HIV itu yang terjadi di kita dan penularan di layanan kesehatan (jarum suntik).
Jadi misalnya menyuntik seseorang setelah suntik jangan ditutup lagi nah proses penutup ini kemudian bisa meleset. Jadi sekarang tidak boleh lagi, recapping, menutup kembali spet ke tutupnya. Itu yang kelima.
Dari kelima itu yang paling tinggi persentasenya yang mana (penularan)?
Yang paling tinggi dari laki ke perempuan, perempuan ke laki, heterogen. Penularan seksual.
Apakah fenomena LGBT di Indonesia yang semakin hari semakin marak justru bisa menjadi pengungkit atau pemicu infeksi HIV AIDS?
Iya kan dari awal memang mula-mula dulunya di sana. Saya kira edukasi yang berulang-ulang itu ternyata yang banyak orang merasa cukup, ternyata tidak cukup karena masih banyak yang tidak tahu mengenai penularan.(*)