Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan, resistensi antimikroba tidak hanya berdampak pada kesehatan saja. Tapi juga dapat timbulkan krisis ekonomi.
"Tidak hanya korban jiwa, ekonomi dari resistensi antimikroba diperkirakan World bank akan serupa dengan krisis ekonomi dunia di tahun 2008," ungkapnya di acara media briefing yang diselenggarakan WHO di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Hal ini bakal jadi skenario terbruk dari sisi ekonomi akibat resistensi antimikroba. Obat tidak lagi efektif dan menjadi adi kuat dalam menginfeksi.
Situasi ini akan jauh berdampak pada negara yang berpendapatan rendah. Serta memicu penurunan 5 persen Gross Domestic Product (GDP).
"Diprediksi mendorong 28 juta orang negara berkembang masuk dalam kemiskin 2050," katanya lagi.
Agus menyebutkan jika resistensi antimikroba memang hampir tidak mungkin dihindari. Tapi situasi ini bisa diperlambat dengan upaya pengendalian komprehensif.
Baca juga: Kematian Akibat Resistensi Antimikroba Capai 700 Ribu Orang Per Tahun
Diperlukan tanggungjawab bersama. Tidak bisa hanya dengan peran pmerintah saja. Perlu kesadaran penuh dari masyarakat, produsen hingga klinis. Bahwa pengguna antimikroba harus bijak dan bertanggungjawab.
"Masyarakat harus disadarkan obat keras dan tidak bisa dibeli sembarangan. produsen perlu memberikan peringatan menentukan label antimikroba sehingga masyarakat tahu yang dikonsumsi," tegasnya.
Baca juga: Samsung Bikin Casing Smartphone Antimikroba, Diklaim Mampu Cegah Penyebaran Virus
Selain itu, klinisi harus cermat dalam pemeriksaan gejala. Lalu konsisten memperbarui informasi rekomendasi pengguna mikroba agar pengguna mikroba bisa lebih efektif.
"Pengendalian anti resitensi mikroba Perlu dilakukan sesegera mungkin sehingga dampak yang diprediksi bisa dikendalikan," pungkasnya.