TRIBUNNEWS.COM - Kasus gagal ginjal akut yang dialami ratusan anak di Indonesia menjadi perhatian sejumlah kalangan.
Termasuk dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir secara khusus menyoroti kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gagal ginjal akut ini.
Menurutnya, BPOM harus ikut bertanggung jawab karena memiliki tugas menjaga keamanan dan mutu obat yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Seperti diberitakan sebelumnya, penyebab gagal ginjal akut diduga karena adanya zat senyawa ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) dalam obat sirup.
“Kita juga tahu bahwa BPOM tugasnya melakukan pengawasan pre-market dan post-market.
Mereka juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan,” ucap Tony dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Selasa (25/10/2022).
Baca juga: 6 Usulan Ombudsman untuk Kemenkes dan BPOM Sikapi Kasus Gagal Ginjal Akut Anak
Tony kemudian secara tegas mempertanyakan kinerja BPOM selama ini.
Utamanya perihal pemeriksaan kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Bagi Tony jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga bisa membahayakan konsumen.
Seperti halnya zat yang terkandung dalam obat sirup yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak.
“Tentu jangan sampai sudah kecolongan seperti ini kita panik seluruhnya, dievaluasi, dan ditarik kembali setelah jatuhnya korban,” ujarnya.
Fenomena gunung es
KPCDI juga menilai, kasus yang sekarang ini terjadi adalah fenomena gunung es dari nestapa pasien gagal ginjal akut pada anak di Indonesia
Jenderal KPCDI, Petrus Haryanto mengatakan, selama ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan belum maksimal mengurus sistem kesehatan ginjal.
"Kejadian ini sekaligus membuka tabir bahwa pemerintah selama ini melupakan sistem kesehatan ginjal tidak hanya bagi orang dewasa namun juga pada anak," kata Petrus.
Petrus menjelaskan, saat ini, fasilitas kesehatan ginjal di Indonesia cenderung sangat minim dan tidak merata.
Perlu diketahui, jika seorang anak terdiagnosis gagal ginjal akut, maka ada dua metode terapi yang bisa digunakan.
Baca juga: Kemenkes: Obat Antidotum Diberikan Jika Frekuensi Buang Air Kecil Pasien Gagal Ginjal Berkurang
"Yaitu terapi konservatif dengan konsumsi obat-obatan dan dengan terapi cuci darah atau dialisis. Sayangnya, pada poin kedua fasilitas kesehatan itu belum merata dengan baik di Indonesia," beber Petrus
Data KPCDI mencatat, sebelum kejadian meraknya gagal ginjal akut saat ini, dalam beberapa kasus pun para orang tua harus menempuh jarak ratusan ribu kilometer dari daerah asal ke Jakarta karena anaknya harus mendapatkan rujukan demi mengobati penyakitnya.
Ironisnya, di Jakarta baru ada dua fasilitas kesehatan yakni RS Cipto Mangungkusumo dan RS Harapan Kita yang memiliki fasilitas kesehatan gagal ginjal pada anak.
“Kita mendesak pemerintah agar segera membangun fasilitas kesehatan ginjal pada anak. Khususnya menyediakan mesin cuci darah untuk anak, karena memang saat ini terbatas jumlahnya.
Makanya setelah terjadi kejadian ini yang membutuhkan cuci darah, kematian pada anak cukup tinggi karena fasilitasnya sangat minim dan sistem antrean yang panjang,” kata Petrus.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah juga harus bergerak cepat dalam memaksimalkan seluruh faskes yang ada di daerah untuk menyisir pasien dan melakukan deteksi dini.
Faskes pertama juga diharapkan bisa menjadi tempat terdepan dalam melakukan penanganan sehingga pasien tidak perlu dirujuk ke kota.
Musababnya, penyakit gagal ginjal sangat cepat memburuk dan berpotensi mengakibatkan kematian jika penanganannya lambat.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak Bertambah Menjadi 255
“Membangun sistem rujukan yang terintegrasi juga sangat penting, agar bila terdiagnosis bisa dirujuk ke fasilitas yang memiliki kompetensi dalam menangani gagal ginjal akut pada anak. Disitu harus bisa melakukan cuci darah, baik yang sifatnya sementara atau permanen,” ujarnya.
Bagi Petrus, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus gagal ginjal akut pada anak dan membangun fasilitas kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia bukan tidak mungkin angka mortalitasnya akan terus meningkat.
Apalagi, tidak semua orang tua memiliki biaya untuk datang ke Jakarta demi mengobati anaknya.
“Faskes pertama harus melakukan tindakan preventif dan promotif, bagaimana berhubungan dengan masyarakat, bagaimana bahayanya penggunaan obat secara bebas, bahwa sebisa mungkin sakit diobati di faskes dan bukan diobati secara mandiri,” tutupnya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)