TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS mengatakan, kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng.
"BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan," kata dia dalam diskusi bersama media pada Jumat (18/11/2022).
Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum.
"Jadi bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” ungkap dia.
Menurutnya, urgensi pelabelan BPA dalam kemasan galon ditengarai fakta terkait kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia yang masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun.
Sementara menurut data UNICEF hampir 70 persen sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses.
Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya," ungkapnya.
Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof Ahmad Sulaeman.
Baca juga: Sederet Pakar Kritisi Wacana BPOM Labelisasi BPA pada Galon Isi Ulang
Ditambahkan Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, kebijakan pelabelan BPA pada galon AMDK ini cenderung diskriminatif.
“Jadi kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya," ujar dia.
Terkait bahaya BPA pada galon, ia menerangkan harus melihat empat
faktor.
"Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi, dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal.
Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah.