Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Target organisasi kesehatan dunia atau WHO menyatakan, tahun 2030 kasus HIV/AIDS harus dieliminasi dari seluruh negara.
Terhitung 7 tahun lagi capain itu harus direalisasikan termasuk oleh Indonesia.
Baca juga: WHO Sebut HIV Renggut 40,1 Juta Nyawa Secara Global, Ketahui Gejala dan Cara Penularannya
Namun, situasi endemi AIDS di tanah air masih banyak menemui tantangan terutama pencegahan penularan pada kelompok kunci perempuan, anak, dan remaja.
Data epidemiologi UNAIDS, di Indonesia terdapat sekitar 543,100 orang yang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru di tahun 2021.
40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sementara lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (usia 15-24 tahun) dan 12 persen infeksi baru pada anak.
Sayangnya, hanya 28 persen yang menerima pengobatan ARV.
Baca juga: 12.553 Anak di Indonesia Terinveksi HIV, Kemenkes Bertekad Akhiri Epidemi AIDS pada Tahun 2023
Indonesia menduduki posisi 3 terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan.
“Tantangan penanggulangan HIV di Indonesia ini cukup besar,” ucap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi dalam konferensi pers daring beberapa waktu lalu.
Berdasar data pengamatan data tahun 2018-2022, upaya pencegahan penularan HIV khususnya pada kelompok itu belum optimal. Lantaran, mayoritas kasus HIV ini berada di kelompok umur 25-49 tahun.
“Dan setiap tahunnya, masih saja ditemukan anak dengan HIV, di mana ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian HIV itu masih memerlukan penguatan-penguatan,” sambung Imran.
Sementara itu, dia mengatakan bahwa anak usia kurang dari empat tahun lebih dominan ditemukan kasus HIV pada anak.
Tercatat pula 12.553 anak usia 14 tahun ke bawah yang diketahui status HIV-nya pada 2010-September 2022.
“Dari 12.500an itu, yang sudah mulai pengobatan terapi antiretroviral/ARV itu baru sekitar 4.764. Jadi gapnya juga masih cukup tinggi,” terang Imran.
Adapun anak laki-laki lebih banyak terkena HIV dibanding anak perempuan.
Sementara menyoal masalah akses terkait dengan bagaimana akses pengetahuan atau akses layanan kesehatan kepada orang tuanya khususnya ibunya.
“Karena mereka biasanya akan tertular penyakit ini dari ibunya,” kata Imran.
Hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari Ibu yang tidak menerima terapi ARV. Data juga menunjukkan bahwa ada banyak ibu menghentikan terapi, selama masa hamil dan menyusui.
Perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.
Pada ibu hamil dan menyusui alasan untuk menghentikanterapi karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat.
Baca juga: Akhiri Endemi AIDS, Perempuan dan Anak Harus Jadi Fokus Utama Terapi ARV
Bagi anak dan remaja juga bukan hal yang mudah untuk mengakses layanan kesehatan. Adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatanhukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan. Belum lagi pengetahuan mengenai isu HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy.
Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi.
“Jadi kita kalau dilihat dari penemuan kasusnya, itu semakin membaik sebetulnya. Tetapi, kita untuk pemasukan mereka di dalam terapi itu masih belum banyak perbaikan yang signifikan, masih di bawah 50 persen,” ujar Imran.