TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingat Indonesia akan memiliki bonus demografi yang puncaknya pada tahun 2030-2035 sehingga pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus terus dioptimalkan
Maka dari itu, Presiden Jokowi menargetkan prevalensi stunting mampu ditekan hingga berada di bawah 14 persen di tahun 2024.
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr.(HC). dr. Hasto Wardoyo, SP.OG. mengatakan, pihaknya akan terus berupaya mengejar terget yang telah dipasang oleh Presiden Jokowi itu.
Salah satunya, dengan menggencarkan seluruh lapisan di tingkat pusat hingga Desa guna mensosialisasikan penutunan angka stunting lewat perubahan prilaku masyarakat. Mulai dari sebelum melahirkan, saat melahirkan hingga pascamelahirkan.
Selain itu, lingkungan yang sehat serta asupan makanan yang bergizi menjadi faktor penentu anak lahir tidak stunting.
Namun Hasto pun menjelaskan bagaimana jika anak yang telah lahir sudah dalam keadaan stunting. Apakah bisa sembuh atau dipulihkan? Sehingga masa depannya akan cerah dan bisa bersaing?
Saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor BKKBN, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (19/1), Hasto pun menjelaskan bahwa bayi manusia dalam reproduksi perkembangan punya waktu emas yakni 1.000 hari kehidupan pertama.
Di mana, angka itu dibagi menjadi dua periode yakni dimasa kandungan selama 280 hari dan 720 hari pascamelahirkan.
Hasto pun menyebut, di masa-masa itulah periode untuk mencegah terjadinya stunting pada anak. Pasalnya, setelah 1.000 hari masa kehidupan pertama, bayi akan memasuki masa menutup bagian ubun-ubunnya.
Sehingga, secara otomatis tidak bisa menambah volume otak.
"Kalau begitu sudah 1000 hari ubun-ubun bayi itu sudah tertutup, ubun-ubun anak sudah tertutup, sehingga kalau mau menambah volume otak itu sudah tidak bisa begitu banyak," kata Hasto.
Mantan Bupati Kulon Progo ini juga menambahkan, ketika bayi dilahirkan dalam keadaan stuntiny maka potensi untuk menjadi tinggi badan tidak optimal kemudian potensi untuk menjadi cerdas juga tidak optimal.
"Stunting itu jadinya pasti pendek, tapi pendek belum tentu stunting," terangnya.
Hasto juga menyebut seseorang yang terkenal stunting kecenderungannya memiliki nasib yang kurang bagus. Hal itu karena faktor tinggi badan yang optimal serta kemampuan kecerdasan yang kurang.