News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengusaha Nilai RUU Kesehatan Jadi Regulasi Atasi Berbagai Persoalan Kesehatan di Indonesia

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Rumah Sakit Siloam di Semanggi, Jakarta Selatan. Presiden Komisaris PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) John Riady meyakini Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan dapat menjadi regulasi yang dapat mengatasi sistem kesehatan di dalam negeri.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Komisaris PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) John Riady meyakini Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan dapat menjadi regulasi yang dapat mengatasi sistem kesehatan di dalam negeri.

John berharap para pemangku kepentingan (stakeholder) dapat duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik sehingga RUU Kesehatan berorientasi pada masyarakat dan peningkatan kualitas kesehatan.

“RUU Kesehatan digagas untuk menjadi regulasi yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan di Indonesia, baik dari aspek peningkatan layanan kepada masyarakat, kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan, pemerataan dokter spesialis, dan aspek bisnis,” kata John melalui keterangan tertulis, dikutip Jumat (10/3/2023).

Baca juga: Berkaca dari Kasus Ibu Hamil Meninggal, Kadinkes Subang Berharap Mindset Tenaga Kesehatan Berubah

Ia mengatakan SILO sebagai jaringan rumah sakit swasta di Indonesia berkomitmen untuk terus mendukung upaya pemerintah membangun sistem kesehatan masyarakat yang berkualitas, andal, dan merata.

Langkah itu ditempuh SILO untuk meminimalisasi jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri.

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, pada tahun 2022 sebanyak 2 juta warga negara Indonesia (WNI) berobat ke Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.

Secara rinci sebanyak 1 juta WNI berobat ke Malaysia, 750 ribu WNI berobat ke Singapura, dan sisanya sekitar 250 ribu WNI berobat ke Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.

Menurut John, tingginya jumlah WNI yang berobat ke luar negeri mengakibatkan devisa negara sebesar Rp 165 triliun hilang.

“Saya yakin seluruh stakeholder bisa duduk bersama dengan niatan dan visi yang sama, membangun sistem kesehatan berkualitas, andal, dan merata,” ujar John.

Diakuinya, sistem layanan kesehatan nasional masih dibelit berbagai persoalan, di mana salah satu permasalahan utama adalah kualitas dan kuantitas serta minimnya penyebaran dokter spesialis.

“Sumber utama permasalahan adanya ketimpangan SDM kesehatan dengan cakupan layanan, baik luasnya wilayah serta jumlah populasi,” katanya.

Untuk peningkatan dan pemerataan kualitas, dibutuhkan lebih banyak lagi SDM dokter spesialis.

Saat ini, merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Indonesia hanya memiliki 54.000 dokter spesialis.

Jumlah itu dinilai sangat timpang dibandingkan populasi penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa.

Rasio dokter spesialis hanya sekitar 2:10.000 warga.

Kelangkaan dokter spesialis lebih parah terjadi di daerah. Terdapat 647 rumah sakit umum daerah (RSUD) yang bahkan tidak dilengkapi spesialis yang vital seperti anestesi, bedah, genokologi, obstetric, dan spesialis anak.

“Maka layanan kesehatan pun menjadi rentan dan tidak merata. Secara bisnis dan makro, industri kesehatan nasional pun kalah saing, sehingga setiap tahun kita kehilangan devisa sekitar Rp100 triliun dari warga yang berobat ke luar negeri,” jelas John.

RUU Kesehatan, kata John, mempunyai semangat menggenjot jumlah SDM kesehatan, terutama dokter spesialis. Draf regulasi itupun akan menyederhanakan proses pendidikan dokter spesialis yang selama ini berlaku, dari jenjang sarjana kedokteran, Co-Ass selama dua tahun, hingga internship.

Calon dokter spesialis juga diwajibkan mengantongi rekomendasi dari pemerintah daerah setempat dan organisasi profesi. Selanjutnya, mereka juga wajib mengantongi surat tanda register (STR) dan surat izin praktik.

Persoalannya, upaya penyederhanaan ini memicu polemik, karena dianggap mengabaikan organisasi profesi dan bersifat sentralistik di tangan kementerian.

“Saya menilai, perbedaan pendapat ini bisa diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dan kebijakan, karena semangatnya sama yakni peningkatan kualitas dan pemerataan layanan kesehatan,” imbuh John.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini