TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik kerap diklaim lebih rendah dibanding paparan risiko kesehatan dibanding rokok tembakau konvensional.
Merujuk kajian Public Health England (PHE) yang dikenal sebagai UK Health Security Agency, kajian berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products” pada 2018 lalu menyebut, rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan mampu mengurangi paparan risiko hingga 90-95 persen lebih rendah.
“Kami perlu meyakinkan perokok bahwa beralih ke produk tembakau alternatif akan jauh lebih rendah risiko daripada merokok," demikian kata Direktur Peningkatan Kesehatan di PHE, Profesor John Newton dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/1/2024).
Sementara penelitian di dalam negeri, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran telah melakukan kajian klinis dengan judul “Respon Gusi Pada Pengguna Vape (Rokok Elektrik) Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitis Experimental)”.
Penelitian tersebut untuk mengetahui sejauh mana produk tembakau alternatif memiliki dampak bagi pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada pengguna vape (rokok elektrik) dibandingkan pada perokok yang tidak beralih.
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna vape yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna vape (rokok elektrik) telah kembali normal,” kata peneliti Unpad, Profesor Amaliya.
Baca juga: Pemerintah Diminta Pertimbangkan Ulang Penerapan Pajak Rokok Elektrik
Sikap WHO
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak seluruh negara untuk mulai melarang semua vape beraroma atau perasa, dan diperlakukan serupa dengan rokok.
WHO menyatakan "langkah-langkah mendesak" diperlukan untuk mengendalikan pemakaian rokok elektrik atau vape.
Menurut WHO, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa vaping membantu perokok berhenti dan vape dapat mendorong kecanduan nikotin pada non-perokok, terutama anak-anak dan remaja.
"Anak-anak direkrut dan dijebak pada usia dini untuk menggunakan rokok elektrik dan mungkin kecanduan nikotin," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus melansir Reuters.