Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO laporkan 50 sampai 100 juta kasus infeksi demam berdarah dangue (DBD) terjadi setiap tahunnya.
Anak menjadi salah satu kelompok yang rentan alami keparahan hingga kematian.
Hal ini diungkapkan oleh Bidang Advokasi lembaga Pemerintah PB IDI & Spesialis Penyakit Dalam - Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo, Sp.PD., K.PTI., FINASIM.
"Mayoritas kematian, terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun," ungkapnya pada media briefing virtual, Rabu (28/2/2024).
Lebih lanjut, dr Lardo ungkap kenapa anak menjadi kelompok yang rentan.
Ini dikarenakan sistem imunitas anak belum tumbuh secara maksimal.
"Pada anak itu harus lebih concern melihat masalah DBD. Sistem imunitas belum tumbuh maksimal," tambahnya
Kedua, anak sering kali dibawa dalam situasi kesakitan yang sudah lanjut.
Sebagian orangtua belum memahami soal fase DBD.
Orang tua perlu melihat tiga tahap dari fase DBD.
Pertama fase demam (febrile phase). Pasien akan mengalami demam tinggi hingga 40ºC yang berlangsung selama 2–7 hari.
Kedua, fase kritis (critical phase)
Setelah melewati fase demam, banyak pasien DBD merasa dirinya telah sembuh karena suhu tubuhnya mulai turun.
Padahal, ini justru fase demam berdarah yang paling berbahaya.
Karena kemungkinan terjadi perdarahan dan kebocoran plasma darah yang akan menyebabkan syok dan berpotensi mengancam nyawa.
Dan terakhir fase pemulihan (recovery phase). Setelah melalui fase kritis, pasien akan memasuki fase pemulihan. Fase ini akan terjadi 48–72 jam setelah fase kritis.
Sayangnya tidak semua orangtua mengetahui fase ini. Sehingga anak tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.
"Di rumah, ditangani sendiri, dikasih parasetamol, oralit, dilihat ketiga turun demamnya. Padahal itu adalah fase kritikal. Ini harus senantiasa digaungkan, hati-hati fase kritikal pada pasien DBD," imbaunya.