Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 dari 283 pasien (2,83 persen) secara serologis terkonfirmasi menderita penyakit celiac.
Analisis bivariat mengungkapkan bahwa variabel usia 40-60 tahun, keluhan sulit BAB, dan riwayat penyakit autoimun memiliki hubungan signifikan (p < 0,05) dengan penyakit celiac.
Namun, pada analisis multivariat, hanya riwayat penyakit autoimun yang tetap menunjukkan hubungan signifikan (p < 0,05) dengan penyakit ini.
Sehingga dapat ditafsirkan berdasarkan hasil ini bahwa pasien-pasien IBS yang memiliki karakteristik usia 40-60 tahun, keluhan sulit BAB, dan terutama riwayat penyakit autoimun sebelumnya perlu lebih waspada kemungkinan memiliki penyakit celiac.
Prof. Ari Fahrial, penulis utama studi ini, menjelaskan, penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai prevalensi penyakit celiac pada populasi berisiko tinggi di Indonesia.
Baca juga: Ketahui Jenis Makanan yang Perlu Dihindari Penderita Penyakit Autoimun
"Temuan kami menunjukkan bahwa meskipun prevalensi secara keseluruhan tampak rendah, namun angka 2,83 persen pada populasi berisiko tinggi di RSCM tergolong tinggi jika dibandingkan dengan studi serupa sebelumnya yang menunjukkan angka 0,61 persen," paparnya.
"Hal ini memperlihatkan perlunya perhatian lebih dalam deteksi dini dan diagnosis penyakit celiac."
Lebih lanjut, penelitian ini juga menyoroti peningkatan konsumsi produk makanan yang mengandung gluten di Indonesia, seperti gandum, roti, pasta, dan mie instan, yang dapat berkontribusi pada peningkatan prevalensi penyakit celiac.
Menurut laporan Indonesia Grain and Feed 2018, konsumsi gandum tahunan meningkat dari 22,4 kg per kapita pada 2015/2016 menjadi 23 kg per kapita pada 2016/2017.
Studi ini juga menggarisbawahi pentingnya deteksi dini dan penanganan penyakit celiac untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan mengurangi beban ekonomi baik pada tingkat individu maupun nasional.
"Dengan memahami prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit celiac di Indonesia, kami berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan profesional kesehatan mengenai penyakit ini," tambah Prof. Ari Fahrial yang juga dekan FKUI.
Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi kebijakan kesehatan yang lebih baik dalam penanganan penyakit celiac di Indonesia.
Prof. Ari dan tim peneliti juga merencanakan untuk membuat penelitian yang melibatkan subjek dan fasilitas lebih besar untuk memperdalam dampak dari konsumsi gluten yang tinggi di masyarakat Indonesia.(*)