"Dia cepat meminta bantuan, anak relatif akan mampu menjaga dirinya. Dia akan jerit, cari orang tuanya. Dia akan cari, misalnya di sekolah, Gurunya atau siapa, untuk melaporkan," imbuhnya.
Kedua, jangan memberi julukan alat genital dengan nama lain.
Sampai saat ini, ada saja orang tua yang enggan mengenalkan alat genital dengan benar pada anak.
"Kalau kita mau ngomong yang lebih santun, ya sudah kelamin atau genital. Kelamin laki atau kelamin perempuan. Jangan dikasih nama (lain)," tegasnya.
Memberi nama lain pada alat kelamin justru dapat menimbulkan kebingungan pada anak.
Misal, alat kelamin laki-laki selalu dinamai dengan 'burung.'
Anak yang kala itu masih berpikir praktis konkret akan bingung bagaimana membedakan burung dengan alat kelaminnya.
Pada satu titik, kebiasaan ini juga bakal menyulitkan orang tua dan ask. Zoya pun mencontohkan satu kasus.
Pernah ada seorang anak yang diajarkan oleh orang tua untuk menamai alat kelaminnya sebagai 'lebah.'
"Terus terjadi pelecehan seksual. Kelaminnya dicolek sama si predator. Anak menangis dan bilang ke satpam di sekolahnya. Ini anak TK, terus dia bilang gini, lebah aku sakit. Orang berpikir dia (hanya) diserang lebah," kisahnya.
Tidak ada orang yang menyadari hal ini hingga beberapa hari kemudian.
Padahal, kata Zoya, kalau seandainya orang tua tidak memberi julukan lain pada alat kelamin, kasus ini dapat segera diproses.
Anak juga bisa langsung mendapatkan penanganan medis dan psikis yang tepat.
Ketiga, orang tua harus mengenalkan pada anak bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh atau privasi.