Indonesia berargumen bahwa hukum tersebut akan merugikan petani kelapa sawit kecil, menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, karena petani akan kesulitan mematuhi aturan geolokasi.
Indonesia juga khawatir akan diberi label sebagai negara "berisiko tinggi" yang dapat mengakibatkan inspeksi yang lebih mahal untuk produk-produknya.
Pemerintah menyatakan tingkat pembabatan hutan telah menurun, namun para aktivis lingkungan mengatakan bahwa beberapa petani dan perusahaan masih melakukan pembabatan hutan untuk penanaman kelapa sawit.
Indonesia juga termasuk dalam sepuluh negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, terutama karena pembabatan hutan dan lahan gambut.
Secara terpisah, Airlangga mengatakan bahwa Indonesia juga telah mengusulkan agar Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik yang dipimpin oleh AS mencakup perjanjian perdagangan tentang mineral kritis, sehingga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dapat mendapatkan manfaat dari kredit pajak AS.
Masih kata Airlangga, usulan tersebut sudah mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara lainnya serta Australia, setelah Indonesia mengusulkan FTA terbatas dengan AS yang mencakup bahan baku baterai.
Perundingan dengan Uni Eropa dan negosiasi CEPA yang sedang berlangsung terkait deforestasi ini memang akan terus jadi perhatian utama dalam hubungan ekonomi antara kedua belah pihak. Indonesia mengharapkan bisa mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan, bersamaan dengan menjaga lingkungan dan petani-petani kecil di industri kelapa sawit.