TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mengkritik wacana yang diusulkan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar semua rumah ibadah dikontrol Pemerintah, dengan dalih adanya penyebaran paham radikalisme dan beberapa negara melakukan kontrol penuh terhadap Masjid dan rumah ibadah.
HNW menilai wacana tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku di Indonesia dan itu bisa menjadi teror yang membahayakan harmoni dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.
"Wacana itu tidak sesuai dengan prinsip konstitusi yang berlaku di Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat dan karenanya tidak harus membebek ketentuan negara lain. Apalagi konstitusi yang berlaku di Indonesia tegas menghormati pelaksanaan ajaran Agama sebagai bagian dari HAM," ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (5/9/2023).
"Selain berbahaya bagi pelaksanaan HAM terkait kebebasan beragama, wacana tersebut bahkan bisa menghilangkan harmoni karena bisa memicu tumbuhnya sikap saling curiga sesama anak bangsa yang selama ini umumnya bisa hadirkan harmoni dalam beribadah di rumah-rumah ibadah,” tambahnya.
HNW menegaskan mestinya BNPT memahami dengan baik dan benar banyaknya ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan dan kebebasan bagi Rakyat untuk memeluk Agama dan melaksanakan peribadatan Agamanya. Sebagiannya bahkan dinyatakan sebagai HAM. Beberapa diantaranya adalah Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 29 UUD NRI 1945.
"Ketentuan Pasal 29 menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” jelasnya.
Lebih lanjut, HNW mengaku sependapat dan mendukung pernyataan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dan Ketua Bidang Keagamaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrurrozi dan pimpinan Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahkan PGI melalui Ketuanga; Gumar Gultom, yang juga mengkritik dan menolak wacana dari BNPT ini.
Apabila memang ada indikasi pelanggaran hukum seperti penyebaran kebencian dan laku radikalisme di rumah ibadah, aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan preventif dan persuasif, bahkan bekerjasama dan maksimalkan kewenangan pada organisasi massa keagamaan yang diakui Pemerintah untuk mengelola dan maksimalkan dengan baik kegiatan di rumah2 ibadah.
Bukan justru memberlakukan wacana yang mengembalikan Indonesia ke era represi pra demokrasi dengan semuanya dilakukan kontrol termasuk di rumah2 ibadah, tanpa ada bukti hukum adanya penyebaran kebencian atau paham radikalisme di tempat-tempat ibadah.
"Kita setuju menolak segala bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 1945 seperti separatisme, komunisme dan radikalisme. Tapi BNPT mestinya tampilkan bukti dengan menyebutkan tempat2 ibadah yang dicurigai menyebarkan kebencian atau paham radikalisme. Itu harus jelas terlebih dahulu pelanggaran hukumnya," tegas HNW.
Lebih lagi ia menambahkan, "Jangan hanya karena ada laporan pertanyaan dari satu pihak lalu dipukul rata atau digeneralisasi untuk dikontrol semuanya, itu bisa memunculkan ketakutan, saling curiga dan membuat ketidaknyamanan pemeluk agama di saat mereka berada di rumah2 ibadah, yang mestinya malah menghadirkan ketenteraman, selain tidak terpenuhinya prinsip negara hukum yang akui HAM."
Secara spesifik, HNW juga sependapat dengan Ketua PBNU Bidang Keagamaan Gus Fahrur yang menyebutkan bahwa kebebasan beribadah merupakan salah satu elemen penting dari kebebasan beragama. Apalagi, ketentuan-ketentuan dalam konstitusi juga telah menjamin keduanya, yakni kebebasan beragama dan juga kebebasan beribadah.
Oleh karenanya, HNW berharap agar wacana untuk mengontrol tempat ibadah itu dibatalkan saja.
HNW menegaskan bahwa Indonesia, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, merupakan negara hukum yang bertujuan memberikan kenyamanan dan kesejahteraan masyarakatnya dengan tegaknya kedaulatan hukum.
"Indonesia adalah negara demokrasi yg mengakkan hukum tapi tetap menghormati HAM yang bertujuan mencapai welfare state selayaknya negara-negara di era modern. Bukan konsep negara penjaga malam yang kerap mencurigai rakyatnya sendiri,” tuturnya.
“Wacana mengontrol tempat ibadah ini harus benar-benar ditinjau ulang dan ditolak secara tegas. Apalagi, bila tidak ada bukti sebagai dasar yang kuat untuk melaksanakan itu. Wacana tanpa bukti hukum tersebut sangat berpotensi menjadi teror terhadap harmoni kehidupan beragama yang dijamin Konstitusi, ”pungkasnya. (*)