Bila RUU PPRT menjadi undang-undang, jelas Airlangga, kelompok yang menolak itu khawatir tidak lagi berada posisi yang lebih tinggi daripada PRT. Padahal tambah dia, setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum.
Menurut Airlangga, meski terbilang moderat, aturan pada RUU PPRT ini penting untuk dituntaskan menjadi undang-undang agar kita bisa melangkah ke depan. Karena, jelas Airlangga, semua kelas masyarakat seperti pemberi kerja, penyalur PRT dan para PRT dilindungi dalam RUU PPRT.
Airlangga menegaskan tidak ada alasan lain kecuali ketidaktahuan politik pimpinan DPR yang menyebabkan tersendatnya pembahasan RUU PPRT. Airlangga menyarankan untuk menghadapi ketidaktahuan politik pimpinan DPR harus didorong dengan kerja sama dan tekanan politik dari masyarakat sipil.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Rahmat Syafaat berpendapat kebuntuan pada proses pembahasan RUU PPRT karena 70 persen anggota dewan itu dari kalangan pengusaha.
"Terhadap buruh di industri saja dipolitisasi betul. Padahal undang-undang sudah menetapkan upah buruh itu adalah upah layak," ujarnya.
Jadi, tambah Rahmat, meski ada undang-undang terkait pekerja atau buruh, tetapi pelaksanaannya masih amburadul. Menurut Rahmat, bila kita ingin mewujudkan kesetaraan dalam hubungan antara pekerja dan pemberi kerja harus diperjuangkan dengan gerakan-gerakan yang kuat di masyarakat.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Peran Lembaga Penyiaran Penting untuk Ubah Perspektif terhadap Kelompok Difabel