Bila si adik sudah lebih besar, ibu bisa menyuruhnya membeli sesuatu di warung dekat rumah, misalnya, dengan menyertakan sang adik, "Ajak adik, ya, Kak. Adiknya digandeng." Berawal dari situ, selanjutnya pelan-pelan ibu bisa meminta si kakak mengajak adiknya kala bermain bersama teman-temannya.
Sebaiknya ibu juga berbicara kepada kakak tentang adiknya secara pribadi, memintanya untuk ikut serta dalam diskusi dan pengambilan keputusan tentang perawatan atau reaksi adiknya. Kala adik menangis, misalnya, ibu bisa menanyakan kepada si kakak, "Menurutmu mengapa adik menangis? Apa yang diinginkannya?"
Menurut Mussen dkk., anak-anak dari ibu yang bersikap demikian akan melakukan pendekatan lebih positif satu sama lain. Penelitian pun telah membuktikan, anak yang menunjukkan minat bersahabat terhadap adiknya yang masih bayi selama 3 minggu pertama akan menunjukkan perilaku sosial lebih positif terhadap saudaranya itu pada usia 14 bulan.
Jadi, Bu, jangan malah si kakak diusir kala ia mendekat ketika Ibu sedang repot mengurus adiknya, "Sana, main di luar! Bunda lagi ngurusin adik, kamu malah ribut melulu." Bila demikian, si kakak akhirnya akan merasa, "Oh, aku ini gangguin adik." Ia pun akan merasa sebagai destroyer.
Bikin Aturan
Selain melibatkan kakak dalam mengurus adik, orang tua juga bisa melakukannya lewat dongeng sebelum tidur. "Pilih cerita yang mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab seorang kakak. Jika tak ada buku cerita yang menggambarkan hal demikian, bisa bikin dongeng kreasi sendiri. Entah tentang dua anak ayam kakak beradik yang tiap hari bertengkar terus, tak saling sayang, akhirnya dampaknya jadi apa," tutur Retno.
Tentunya, cerita/dongeng tersebut akan lebih merasuk ke benak anak bila diceritakan dengan intonasi yang mengena. Yang tak kalah penting, orang tua harus menjadi contoh bagi anak. Bukankah anak selalu belajar dari orang tua? Bila orang tua tak punya waktu untuk duduk sama-sama dengan anak atau main bersama, tentu anak pun akan meniru. "Ia tak akan tergerak mengajak orang lain, juga adiknya untuk main bersama dirinya," ujar Retno.
Tapi bila orang tua selalu menyempatkan diri untuk main bersama anak-anak, mengajarkan berbagi antara kakak-adik, maka anak-anak pun lama-lama akan terbiasa dengan hal demikian. Bahwa kemudian terjadi juga pertengkaran antara kakak-adik tentulah bisa dipahami.
Soalnya, anak usia prasekolah egonya masih tinggi, walaupun ada juga yang sudah mereda egoisnya dan mulai bisa sharing. Jadi, ujar Retno, tak usah heran bila menjumpai si kakak tak mau berbagi mainan dengan adiknya atau mengajaknya main bersama. "Yang penting orang tua terus mengajarkan kasih sayang, berbagi, dan tanggung jawab pada anak-anak."
Disamping, tentunya orang tua juga perlu menerapkan aturan terhadap kakak dan adik. Misalnya, kakak tak mau berbagi mainan dengan adik. "Pertama kali kita harus lihat, mainan itu milik siapa.
Juga, mainan itu sedang dimainkan oleh pemiliknya atau tidak. Bila si kakak sedang memainkan mainan itu dan adiknya ingin main pula, maka si adik harus menunggu sebentar sampai kakaknya selesai main," tutur Retno. Bisa juga dengan meminta izin dari si kakak, "Kak, boleh enggak Adik pinjam mainannya?"
Bila ia menjawab, "Mainan ini, kan, punyaku," tanyakan lagi, "Sampai berapa lama Kakak akan main? Sesudah itu, bolehkah Adik pinjam? Nah, ini lihat jam, Kakak main sampai jarum panjang jam terletak di angka ini, ya? Habis itu Adik boleh pinjam."
Konsekuen
Jadi, tandas Retno, orang tualah yang harus membuat aturan. Jangan sampai orang tua malah langsung memarahi si kakak, "Kamu, kan, kakaknya. Harus mengalah, dong!" Bila demikian, si kakak akan merasakan ketidakadilan dari orang tua. Bukankah si kakak juga punya hak pribadi yang sama seperti si adik?