"Kadang rindu melihat tradisi ini. Karena sekarang sudah jarang dilakukan. Padahal, tradisi ini sangat bagus agar para remaja mendapat pelajaran, bahwa seks di luar nikah itu berbahaya dan memalukan. Ini bagus untuk perkembangan generasi muda PALI," katanya.
Saat beranjak remaja ,ibunya juga tak jemu-jemu memberikan arahan agar dirinya dapat menjaga diri. Orangtuanya sangat takut bila kelak keluarganya dipermalukan.
"Karena sanksi sosialnya sangat kejam, orangtua kita jadi sangat berhati-hati. Ini sisi positif sehingga saya mendukung tradisi ini dilestarikan," ujarnya.
Sementara itu, Indra Setia Haris, pemerhati budaya asal PALI mengatakan, maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja dipicu oleh lemahnya penegakan hukum adat yang ada dimasyarakat.
Karena itu, sanksi sosial seperti mempermalukan pelaku dianggap sangat efektif untuk menjaga ketertiban dalam pergaulan.
Seharusnya, kata dia, hukum adat dapat dijadikan panglima di tengah masyarakat. Apalagi hukum adat tidak bertentangan dengan hukum negara.
Justru dalam hukum adat itu terkandung kearifan lokal yang lebih sesuai dengan kepribadian masyarakat.
"Sekarang lihat saja, anak-anak sekolah sudah tidak canggung lagi berduaan atau bergandengan tangan. Bahkan kehamilan di luar nikah sudah menjadi hal biasa. Inilah yang disebut pergeseran sistem nilai sosial dan moral," ujar Indra.
Ia mengaskan, sistem nilai sosial di tengah masyarakat sudah berubah. Di zaman dahulu, bertemu muka atau berduaan dengan pacar mendapat sanksi karena dianggap memalukan.
Tapi sekarang sudah tidak berlaku lagi. Para remaja justru disodori nilai-nilai yang asing bagi mereka baik oleh media massa maupun media lainnya.
"Tapi sebenarnya, meskipun disodori sistem nilai asing, kalau hukum adat dan kearifan lokal terjaga, dampak negatifnya bisa disortir," tegas Indra.
Mengubur Orangtua Hidup-hidup
Keyakinan serupa diungkapkan Matnur (60) mantan P3N yang juga pemangku adat kecamatan Penukal. Berdasarkan pengalaman Matnur selama menjadi ketib, dirinya mendapati para orang tua menjadi berhati-hati menjaga pergaulan anaknya.
"Kepada anak-anak, saya tegaskan. Jangan nanam rentuwe maseh idop (Jangan mengubur orang tua yang masih hidup). Artinya, kalau sampai anak tidak perawan lagi saat menikah, sama saja mengubur orangtuanya hidup-hidup," kata Matnur.
Karena itulah, Matnur sangat prihatin dengan pergaulan remaja yang ada sekarang. Dirinya menilai tidak adanya hukuman yang diberikan kepada pelanggar norma sosial menyebabkan pergaulan menjadi bebas.
"Ada yang menikah pagi, malamnya langsung melahirkan. Meski tidak terjadi di desa kami, tapi kejadian ini menggambarkan hukum adat yang tidak berlaku," katanya.
Soal Keperawanan, Serahkan Pada Ahlinya
Tradisi cengkung yang masih dipegang teguh sebagian kecil masyarakat di PALI menuai kontroversi. Banyak yang menolak ketika mendengar cerita tentang tradisi itu.
Alasannya, selain tak relevan dengan era sekarang, juga dianggap merendahkan kaum perempuan.
Mengenai hal ini, Hartati, dokter ahli kandungan dari RSMH Palembang angkat bicara. Ia mengatakan, penyebab tidak perawannya seorang perempuan, bukan hanya disebabkan oleh berhubungan intim, tapi bisa karena faktor lain.
Mungkin ada benda tajam atau tumpul yang menembusnya, terjatuh dan sebagainya.
"Selaput dara yang terletak di bagian vagina sangat tipis dan sangat lembut," ujar Hartati.
Menurut dia, beberapa orang mengukur keperawanan dari pernah tidaknya perempuan melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
Ada juga yang mengukur keperawanan dengan masih utuh tidaknya selaput dara. Jenis selaput dara juga beragam.
Jika selaput dara kaya akan pembuluh darah, otomatis ketika pecah akan terjadi pendarahan cukup banyak. Sebaliknya, jika selaput dara tersebut tidak memiliki pembuluh darah, otomatis ketika pecah juga tidak berdarah.
"Jadi bagi perempuan yang masih perawan, pandai-pandailah menjaga selaput dara. Bagi kaum lelaki, jangan menilai kesucian wanita melalui darah yang dikeluarkan ketika "malam pertama"," katanya.
Menurut Hartati, masyarakat saat ini harus berpikiran lebih terbuka dan positif, karena di era modern selaput dara bukanlah indikator utama dalam menentukan kesucian.
Sebab bisa jadi wanita tidak mempunyai selaput dara atau telah pecah disebabkan aktivitas-aktivitas harian yang telah dilakukannya.
"Jadi pikirlah dengan rasional," kata Hartati.
Ia mengatakan, kalau persoalan keperawanan menjadi sangat penting, maka akan lebih baik dikonsultasikan kepada ahlinya. Tidak dengan cara-cara yang bisa merugikan perempuan atau bahkan merendahkan martabatnya.
"Keperawanan harus dilihat dan diperiksa melalui tes medis yang dilakukan dokter ahli. Tidak bisa dilihat dari fisik saja," tegasnya.