Untuk menemukan pembeda pada karyanya, Fitri pun mempetakan busananya pada masa itu dengan Dian Pelangi, Ria Miranda, Etu, Jenahara.
Akhirnya, Fitri menemukan pembeda yaitu harus tetap stylish.
“Sekarang kalau orang mau mencari busana yang syar’i stylish pasti mencari di Kivitz. Warna maroon, navy, putih, dan hitam menjadi ciri Kivitz.”
Busana Pengantin
Begitu launching di FB, tiga hari kemudian Fitri mengaku sudah balik modal dari modal Rp 4 juta.
“Usaha saya dimudahkan karena berbasis komunitas dimana saya sebagai founder Hijabers Community. Berkat komunitas saya punya pasar sendiri dan sudah dikenal orang.”
Sejak itulah Fitri makin yakin bakal bisa maju dengan mengusung gaya busana muslim yang feminin.
“Busana yang syar’i, kan, tidak boleh menyerupai laki-laki. Jadi, baju yang dikeluarkan lebih banyak dress, rok, tidak pernah celana panjang.”
Bahan-bahan yang dipakai selama ini sebagian menggunakan bahan impor karena bahan dari Indonesia masih suka luntur.
Sementara, untuk penjahit biasanya Fitri mencari penjahit rumahan. Namun, kadang kendalanya kualitasnya tidak bagus dan tidak kuat produksi dalam jumlah banyak.
Akhirnya, Fitri mengakali dengan memilih penjahit yang tidak menetap kecuali tukang pola saja yang tetap.
“Saya lebih suka melempar ke konveksi yang agak besar untuk menjaga SDM. Karena mendapatkan SDM seperti itu agak susah, akan lebih baik jika mencari partner saja.”
Meski belum merambah ke busana laki-laki karena pasarnya tidak sebanyak perempuan.
“Namun, saya membuat baju pengantin yang syar’i, kan, jarang. Memang dalam berbisnis itu harus tahu celah dan pintar membaca peluang yang lagi kosong.”