Ancaman hukum itulah yang membuat orang seperti Aditya yang senang bertelanjang berhadapan dengan resiko tinggi.
"Buat teman-teman, saya tergolong nekat. Berani nulis di internet," kata dia.
Tapi, Aditya tidak sendirian. Setidaknya, di Jakarta, ia bergabung dengan sebuah komunitas kaum nudis, yang menurutnya memiliki sekitar 10-15 anggota 'yang sudah berani tampil', lelaki dan perempuan.
Mereka secara berkala melakukan pertemuan, atau kopi darat alias kopdar, istilahnya. "Jebret, setiap gathering begitu kumpul kita langsung bugil,".
Kopdar berlangsung di ruang yang mereka sewa bersama-sama. Tempatnya berpindah-pindah. "Bali, dulu pernah tapi saya belum pernah ikut. Yang di Puncak saya pernah ikut," katanya.
Topik pembicaraan yang dibahas para penganut ketelanjangan itu beragam. Mulai dari persoalan politik, pilkada, sampai bicara bisnis.
"Kita bicara soal Jakarta, tidak ada hubungannya dengan ketelanjangan... Bahkan dua teman sibuk bicara bisnis," ujarnya.
Menurut dia, kumpul dan bertelanjang bersama kaum naturis lain membuat hubungan mereka lebih erat.
"Kita menampakkan diri apa adanya. Yang gemuk, buncit, penisnya pendek atau panjang, payudaranya besar atau kecil, atau ada tanda lahir, semua kelihatan. Kenapa harus apa adanya? Sebab artinya kita menerima diri dan respek terhadap diri orang lain," imbuhnya.
Buat Aditya, banyak miskonsepsi, alias pandangan yang keliru, yang perlu diluruskan soal naturis.
"Masyarakat selalu menginterpretasikan telanjang itu kaitannya dengan seks. Telanjang ramai-ramai pasti pesta seks. Padahal, tidak sama sekali," katanya menegaskan betapa kelirunya pandangan itu.
Aditya menekankan, "nudis tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas seksual. Bedakan dengan eksibionis" kata dia.
"Kemunafikan juga menjadi penyebab (ketidaktahuan masyarakat). Mereka menganggap sesuatu yang tertutup lebih sopan daripada yang terbuka," ujarnya.