"Naiknya kelas menengah Indonesia dan adanya semacam kehausan untuk belajar agama, tetapi di sisi lain tidak mau terlibat dalam organisasi seperti Muhamamdiyah dan NU.
Di sini faktor globalisasi di mana orang ingin kembali kepada agama menjadi suatu yang penting juga," ujar Wahyudi.
Menurut Wahyudi, banyak kelas menengah yang ingin belajar agama dan menjadikan agama sebagai solusi persoalan hidup. Fenomena mendekatkan diri ke agama ini, kata Wahyudi, menciptakan pasar untuk berbagai kebutuhan hidup. Mulai dari pakaian, makanan, properti, hingga urusan jodoh.
"Saya menyebut fenomena ini sebagai Pop-Islamisme, di mana orang menggunakan medan budaya pop untuk ideologi islamisme mereka," kata Wahyudi.
"Di sini, tautan antara pasar yang membentuk identitas dan simbol-simbol mereka dengan agensi para ustaz online yang membentuk itu, dengan mengikuti pola perkembangan platform media sosial di internet," lanjutnya.
Bukan tak mungkin, sarana taaruf online akan tumbuh besar bersaing dengan Tinder dan aplikasi pencari jodoh sejenis.
Bagimu jodohmu, dan bagiku lah jodohku.
(Nibras Nada Nailufar)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Taaruf di Dunia Maya, Saat "Mimin" Jadi “Mak Comblang”", .