"Saya tidak menyembah mereka dan tidak mendewakan atau menuhankan mereka. Kami yang merawat, murni mengurus mereka, memberikan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan saat mereka hidup. Jadi kalau mendewakan kan memuja, menaruhnya di tempat khusus. Kita tidak meminta kepada spirit doll. Di luar sana banyak orang tua asuh berlebihan. Itu bentuk kasih sayang terhadap anak asuhnya. Kita bisa katakan, ini anak asuh kita yang memilih mereka,” tambahnya.
Menurut Queen Athena, boneka-boneka itu diberi susu dan makanan setiap harinya.
Boneka-boneka itu, kata dia, sering memanggil, meminta susu dan kue ke bunda –demikian menurut Athena, boneka-boneka itu memanggilnya.
Queen Athena mengaku, dari 80 boneka miliknya, kini jumlahnya sudah berkurang. Ada yang mengadopsi dan juga sudah “dipanggil untuk reinkarnasi”.
"Ya sekarang jadi 70 boneka. Saya buka adopsi tapi untuk orang tertentu tidak sembarangan, dan juga ada arwah yang sudah reinkarnasi,” jelas dia.
Baca juga: Kereta Si Gombar Cibatu - Garut yang Sempat Jadi Kenangan Manis Warga Garut, Beroperasi Lagi
Sekadar Tren
Lantas seperti apa fenomena spirit doll dari pandangan ilmu Sosiologi?
Pakar Sosiologi yang juga dosen FISIP Universitas Udayana (Unud) Bali, Wahyu Budi Nugroho S.Sos, MA, mengatakan, spirit doll berwujud bayi dapat dikatakan sebagai sarana mencurahkan kasih sayang.
"Dikarenakan sebab-sebab tertentu, mereka belum bisa menikah dan memiliki anak, sehingga secara sosiologis spirit doll ini bisa disebut sebagai substitusi, sarana aktualisasi menjadi orangtua, bahkan belajar untuk menjadi orangtua," kata Wahyu saat dihubungi Tribun Bali, Rabu (5/1).
Menariknya, jelas Wahyu, wujud relasi para artis maupun mereka yang menggunakan atau mengadopsi spirit doll merupakan wujud relasi yang tertukar.
Secara sosiologis, relasi antar manusia berwujud I-Thou atau Aku-Kamu (manusia), sedangkan relasi antara manusia dengan benda disebut I-It atau Aku-Itu (benda).
"Tetapi dalam hal ini, relasi dengan spirit doll yang seharusnya I-It, berubah menjadi I-Thou. Boneka itu diperlakukan laiknya bayi manusia yang hidup," kata dia.
Dalam budaya pop, dituturkan Wahyu, fenomena ini sudah sering diangkat. Misal, dalam film Cast Away, tokoh utama Noland yang terdampar di pulau terpencil menganggap sebuah bola voli sebagai manusia dan terus diajak bercakap-cakap, atau Mr. Bean dengan boneka Teddy-nya.
Di sisi lain, tren spirit doll ini juga bisa menjadi komoditas konsumtif, mengingat harganya yang tidak murah. Sehingga, kata Wahyu, boleh jadi ini memunculkan kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi mereka yang memiliki dan memamerkannya di media sosial.