Menurutnya, kini barang antik yang dijajakan olehnya dan rekan-rekan penjual lain di Jalan Surabaya sudah tercampur akulturasi dan duplikasi.
Sehingga, beberapa benda tak lagi se-original dulu dan lebih murah harganya.
"Ini kan udah ada duplikatnya (alat musik Trombon), yang asli udah jarang. Lampu-lampu juga banyak yang tua, tetapi sudah jarang (yang asli)," jelas Tamim.
"Karena kalau beneran asli cepat habisnya, langsung dibeli," imbuhnya.
Pria berjanggut putih panjang itu menjelaskan, kebanyakan barang antik yang dijual di Jalan Surabaya berasal dari kolektor yang menjual kepada mereka.
Sementara barangnya, kebanyakan berasal dari bekas-bekas kerajaan Jawa dan China.
"Itu banyakan kerajaan dari Jawa semacam dulu kan keramik-keramik dari Jawa, tapi ada juga dari luar kayak barang dinasti China dijual, terus orang China-nya beli lagi, begitu perputarannya," jelas Tamim.
Tamim menyebut, rata-rata barang antik di tempat itu dibanderol dengan harga Rp 500.000 sampai puluhan juta rupiah.
Baca juga: Palestina Diabaikan dalam Kesepakatan AS tentang Barang Antik Curian
Namun, harga tersebut tentatif sesuai barang yang dibeli dan penjualnya.
"Ada yang Rp 500.000, Rp 2 juta, Rp 1 juta. Paling mahal Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Yang ratusan juta udah enggak ada," jelasnya.
Tamim mengaku, perputaran barang antik memang sedikit redup usai pandemi virus corona.
Kendati begitu, pria berumur 65 tahun itu tetap berjualan dan meyakini jika rezeki sudah ada yang mengaturnya.
"Ya redup, lebih banyak yang jual daripada yang beli. Kadang-kadang kalau lagi enggak mengantongi uang, ya saya tolak aja," ujar Tamim.
"Jadi memang omzet enggak kekejar sebenarnya," imbuhnya.