Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Polhuk Hankam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Moch Nurhasim menilai sistem proporsional terbuka dalam pemilu di Indonesia sangat membuka peluang terjadinya politik uang.
Sistem proporsional terbuka, kata dia, salah satu faktor yang menyebabkan transaksi politik sangat masif dan sangat marak dalam pemilu.
Menurutnya sistem pemilihan yang betul-betul terbuka diserahkan penuh kepada masyarakat secara luas dan metode penentuan calon pemenang dengan suaranya terbanyak membuat orang-orang harus berlomba-lomba memperoleh kursi kekuasaan.
Baca juga: Pemerhati Pemilu Usul KPU Terapkan Verifikasi Partisipatif Agar Publik Mandiri Hapus Pencatutan Nama
Hal tersebut disampaikan Nurhasim usai Diskusi Publik bertajuk Mainan Oligarki di Balik Politik Identiftas Menjelang 2024 pada Sabtu (12/11/2022) di Jakarta.
"Meskipun nomor urutnya 10, 8, atau apapun, tapi dia akan berjuang sekeras-kerasnya. Dan partai politik, mohon maaf, lebih terkesan sebagai event organizer," kata Nurhasim.
"Karena yang bekerja calon-calon anggota ini, (calon) anggota DPR, calon presidennya yang bekerja, calon kepala daerahnya, calon anggota DPRD Provinsi, Kabupaten. Kerja partai itu hanya mengurus administratif pencalonan saja," sambung dia.
Bahkan menurutnya apabila dilihat dari dana kampanye, berdasarkan hitung-hitungan pihaknya pada 2019 lalu, 93 sampai 94 persen biaya kampanye dibebankan kepada calon.
Dengan demikian para calon akan berlomba-lomba mengumpulkan uang.
"Dan kalau mereka menggunakan biaya yang cukup besar, ketika mereka menjabat itu pastilah. Makanya banyak sekali, para politisi, kepala daerah, atau di DPR, atau di DPRD banyak sekali yang terjerat kasus korupsi," kata dia.