TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berharap media sosial (medsos) tidak menjadi wahana untuk memanipulasi publik dalam menjelang Pemilu 2024.
Oleh sebab itu Perludem meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membuat aturan yang lebih komprehensif terkait aktivitas kampanye peserta pemilu di medsos.
Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, menyebutkan partai politik (parpol) sudah jor-joran belanja iklan politik di medsos meski masa kampanye belum dimulai.
Sehingga pihaknya berharap KPU dapat mengatur transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu dalam hal belanja iklan di medsos.
Baca juga: Perludem: Ada yang Lebih Penting Ketimbang KPU Hanya Atur Jumlah Akun Medsos Peserta Pemilu
Amel, sapaan akrabnya, membeberkan data laporan Facebook. Sedikitnya, sejak 2020, sudah Rp55 miliar belanja iklan berkaitan dengan sosial politik dikucurkan ke medsos yang dibuat oleh Mark Zuckerberg itu
Sedangkan dalam 90 hari terakhir tahun 2023, juga sudah miliaran rupiah belanja iklan politik yang mengatasnamakan sejumlah politikus kondang dan partai politik di Facebook.
"Sudah banyak sekali uang dikeluarkan di luar masa kampanye (untuk iklan politik di medsos). Iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi," kata Amel, Jumat (30/6/2023).
Iklan politik ini berbahaya , jelas Ames, sebab tanpa aturan dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik seperti halnya dilakukan buzzer atau pendengung.
Ia menjadikan pilpres Amerika Serikat pada 2016 sebagai contoh. Ketika itu, capres dari Partai Republik, Donald Trump berhadapan dengan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Trump keluar sebagai pemenang. Sejumlah media internasional melaporkan, kemenangan Trump dimotori oleh strategi kampanye medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica.
Amel mengatakan, tim kampanye Trump membuat iklan politik manipulatif yang khusus menyasar pemilih Demokrat.
"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat, yang pesannya agar tidak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi," katanya.
"Itulah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," sambungnya.
Bukan tidak mungkin politisi di Indonesia meniru strategi Trump. Karena itu, Amel menyayangkan KPU yang tidak mengatur kampanye medsos hingga ke isu ini.
Regulasi kampanye medsos Pemilu 2024 diketahui hampir sama dengan Pemilu 2019.
Perubahan hanya soal jumlah akun medsos yang boleh dimilikinya setiap kandidat di setiap platform, bertambah dari 10 menjadi 20.