Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Suamampow
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Anggota Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI 2008-2012, Widyaningsih, turut menjadi bagian dari kelompok masyarakat sipil yang mengadukan Ketua dan enam Anggota Komisi Pemilu Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.
Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan ini menduga KPU melakukan tindakan melanggar prinsip mandiri.
Pelanggaran itu diduga dilakukan saat KPU menyusun regulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Peraturan KPU (PKPU) 10/20223 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Baca juga: Masyarakat Sipil Adukan Seluruh Anggota KPU ke DKPP Terkait Keterwakilan Perempuan
Usai menyerahkan berkas laporan, kepada awak media Widyaningsih mengatakan pihaknya berharap DKPP dapat mempercepat proses aduan oleh koalisi masyarakat sipil ini.
Hal itu juga turut mereka sampaikan kepada DKPP melalui surat permohonan yang diberikan bersamaan dengan berkas aduan.
"Tadi kita juga selain menyampaikan berkas, tadi ada surat permohonan agar proses perkara ini dipercepat," kata Widyaningsih kepada awak media, Selasa (15/8/2023).
Mengingat jika terlambat ditindak, aduan pihaknya yang berkaitan dengan kuota keterwakilan perempuan ini bakal tidak ada gunanya jika KPU telah menetapkan daftar calon tetap (DCT).
Baca juga: Hoaks Masih Jadi Titik Rawan Pemilu 2024, Bawaslu Khawatir Terjadi Polarisasi Seperti Pemilu 2019
"Mengingat ini ada permintaan khusus kami, mengingat penetapan itu di awal November dan kalau proses ini dilakukan setelah tahapan ini, ya sama saja, justru tidak mencapai tujuan yang kami harapkan," tuturnya.
"Tapi kami sangat berharap agar DKPP dapat segera memproses, karena kami melihat, tadi sudah disampaikan kalau istilah pemilu itu ada suatu pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu," tandas Widyaningsih.
Fokus aduan koalisi masyarakat sipil ini ialah PKPU 10/2023 yang berkaitan dengan norma pembulatan desimal ke bawah ihwal penghitungan keterwakilan perempuan.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, yang juga merupakan perwakilan koalisi mengatakan, PKPU itu bertentangan terhadap semangat konstitusi dalam menciptakan kesempatan yang untuk masyarakat berpartisipasi di dalam pemilu dan pemerintahan.
Selain itu pihaknya juga mengadukan KPU yang tidak menepati janjinya ihwal bakal mengubah PKPU 10/2023 itu. Sebab sebagaimana diketahui, janji itu lenyap pascakonsultasi KPU dengan DPR.
“Jadi, kami menilai KPU sudah melakukan pembohongan publik, pembohongan kepada kita semua. Mengatakan akan mengubah, tetapi tidak diubah,” ujar Hadar.
Sebagai informasi, 17 April 2023 KPU telah menetapkan PKPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dinilai bisa membuat keterwakilan perempuan di legislatif menjadi kurang dari 30 persen.
Pasal ini mengatur terkait pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah keterwakilan perempuan di satu dapil.
"Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas," bunyi Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Akibat dari aturan itu, keterwakilan perempuan akan kurang dari 30 persen di sejumlah dapil. Semisal, pada dapil yang memberlakukan 7 caleg, 30% dari jumlah tersebut ialah 2,1.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023, angka di belakang koma kurang dari 50, maka 2,1 dilakukan pembulatan menjadi 2 orang.