TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengungkapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsra), Almas Tsaqibbirru terkait kepala daerah boleh maju menjadi capres-cawapres meski berusia di bawah 40 tahun tak perlu mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Bivitri menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga, imbuhnya, hal yang perlu diubah hanyalah teknis pendaftaran capres-cawapres dalam bentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Apa butuh perubahan UU? Tidak, putusan MK langsung final dan mengikat. Tidak perlu perubahan UU. Dan dalam putusannya, MK sudah mengatakan ini berlaku untuk Pemilu 2024, bukan 2029."
"Yang harus dilakukan tinggal teknis pendaftaran calon dalam bentuk Peraturan KPU," katanya kepada Tribunnews.com, dikutip Selasa (17/10/2023).
Bivitri mengatakan putusan MK sebenarnya bisa digugat kembali jika ada pihak yang ingin menggugatnya.
Baca juga: Kontroversi Putusan MK, Saldi Isra & Arief Hidayat Beberkan Kejanggalan, Singgung Gerbong Hakim
Namun, lantaran pendaftaran capres-cawapres tinggal beberapa hari lagi, maka hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
"Yang bisa dilakukan adalah mengajukan lagi dengan batu uji dan argumen berbeda, tetapi ini tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat dalam konteks pendaftaran calon yang tinggal tiga hari lagi," ujarnya.
Lebih lanjut, Bivitri menganggap bahwa putusan MK ini sebenarnya tidak mengejutkan, tetapi cenderung mengecewakan karena mengonfirmasi adanya unsur politisasi di MK.
Bivitri menilai hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hukum (legal reasoning) dari putusan MK.
"Dari tujuh perkara yang diputuskan hari ini (Senin), ada tiga pola yaitu yang pertama batas umur saja (perkara 29/PUU-XXI/2023, (pemohon) PSI); kedua disamakan dengan penyelenggara negara (perkara 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023, Partai Garuda dan kepala daerah); dan ketiga disamakan dengan elected officials lainnya termasuk di level daerah," ujarnya.
Bivitri menganggap putusan MK dari ketiga perkara ini inkonsisten.
Hal tersebut lantaran ketika satu perkara ditolak dengan alasan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, maka perkara selanjutnya juga harus ditolak dengan alasan yang sama.
"Karena semua perkara itu, pola yang manapun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk UU (open legal policy)," ujarnya.
"Memang untuk pola kedua dan ketiga, MK mendalilkan, bisa ada pengecualian untuk open legal policy, yaitu ketidakadilan yang intolerable, tetapi bila dicermati, pokok penalarannya bukan ketidakadilan."