TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, jika duet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terealisasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa ditinggalkan para pemilih kritis dan kaum intelektual yang selama ini mendukung pemerintahannya.
Pasalnya, Jokowi dianggap tengah membangun dinasti politik dengan memuluskan kandidasi Gibran sebagai cawapres lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan sebagian uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres.
Baca juga: PAN Sebut Gibran Memenuhi Syarat Menjadi Cawapres Prabowo: Tinggal Gibran Mau atau Tidak
"Salah satu dampak lain adalah jika putusan MK ini sukses memasangkan Prabowo-Gibran, konflik akan semakin menguat. Itu dampak dari kemarahan civil society dan pemilih kritis itu sangat mungkin akan bergabung bersama-sama dengan PDI-P dan partai pendukung Ganjar," kata Karyono dalam keterangan Selasa (17/10/2023).
Meski begitu, Karyono menilai limpahan suara dari kalangan pemilih kritis eks pendukung Jokowi itu tidak akan signifikan mempengaruhi tingkat elektabilitas Ganjar sebagai bacapres yang diusung PDIP.
Pasalnya, populasi pemilih kritis yang tergolong kecil.
"Jumlah pemilih kritis itu sangat kecil. Nah, yang paling banyak adalah pemilih akar rumput. Pemilih akar rumput ini bisa jadi terbawa arus ke Prabowo," ujar Karyono.
Menurutnya putusan MK juga bisa jadi pemicu hengkangnya Partai Golkar dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi parpol pengusung bacapres Prabowo Subianto.
Sebagai parpol terbesar setelah Gerindra di KIM, menurut Karyono, Golkar jadi parpol yang paling 'dirugikan' dengan putusan itu.
"Masuknya Gibran sebagai wakil Prabowo bisa menjadi trigger bagi Golkar untuk keluar dari koalisi. Tapi, mungkin juga ada variabel lain yang membuat PAN dan Golkar itu bertahan tetap mendukung Prabowo meski berpasangan dengan Gibran, semisal karena tekanan politik atau pertimbangan peluang kemenangan yang lebih realistis," ucap Karyono.
Selain itu, putusan MK tersebut bakal memicu konflik tajam antara Jokowi dan PDIP.
Jika tidak diredam, konflik di tataran elite bahkan bisa menjalar menjadi konflik horizontal antara simpatisan PDIP dan pendukung Jokowi.
Apalagi, Ketua MK saat ini, Anwar Usman, ialah besan Jokowi.
Baca juga: Respons Ganjar, Prabowo, dan Anies soal MK Bolehkan Kepala Daerah di Bawah 40 Tahun Maju Pilpres
"Tentu ini akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Bahkan lebih dari itu, putusan MK itu bisa menimbulkan konflik vertikal dan horizontal. Konflik Jokowi dan Megawati dan pendukungnya akan tajam karena Gibran yang dibesarkan oleh PDIP, kemudian tiba-tiba keluar dari PDIP dan bergabung dengan Prabowo," kata Karyono.
Ada pun permohonan uji materi itu diajukan Almas Tsaqib Birru Re A, seorang mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS).
Almas adalah putra dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Ia juga dikenal sebagai pengagum Gibran di Solo.
Karyono menilai putusan MK itu sangat ambigu. Pasalnya, MK juga menolak gugatan permohonan batas usia minimal capres-cawapres yang diajukan tiga kelompok pemohon lainnya.
Dalam salah satu putusan menolak, MK menyebut regulasi mengenai batas usia minimal capres-cawapres merupakan open legal policy atau kewenangan DPR sebagai pembentuk undang- undang.
"Tapi, pada saat memutuskan perkara mahasiswa Almas Tsaqib Birru Re A, MK malah menambah frasa pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Padahal, di awal dia (MK) sudah menyerahkan bahwa soal syarat pencalonan cawapres itu adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Semestinya MK tidak masuk lagi di ranah itu," pungkas Karyono. (*)