TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Akademisi FH Unair, Rosa Ristawati, angkat bicara menanggapi polemik yang hingga hari ini masih menghiasi pembicaraan publik.
Menurutnya, MK adalah kelembagaan yang dari awal ditujukan untuk memastikan demokrasi konstitusional berjalan dengan baik, situasi saat ini justru menempatkan MK sebagai hyper activism beyond its competence, dimana yuristokracy terjadi.
Yuristocracy adalah kepemimpinan dengan hukum tangan besi, semua bentuk kesewenangan dilegalisasi melalui hukum.
"Saat ini terjadi pembajakan konstitusi (constitutional hijacking). Putusan perkara No. 90 bisa kita lihat sebagai buktinya, ini pintu masuk pembajakan, pertanyaannya adalah siapa yang membajak," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan HAM FH Universitas Airlangga bekerja sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Kamis (9/11/2023).
Menurutnya, kekuasaan hari ini telah bertransformasi dari berdasarkan keadilan dan kepastian hukum sekarang melainkan menjadi major political issue.
Hal yang lebih berbahaya lagi dari major political issue, menurutnya, adalah tidak mencerminkan keadilan publik bahkan bertentangan dengan nalar publik.
"Kita mengalami kemunduran demokrasi, pergeseran demokrasi, krisis demokrasi yang bisa berujung pada quovadis demokrasi, atau frustrated democracy. Di mana ada value demokrasi tetapi rakyat menjadi synical dan apatis dengan demokrasi yang dijalankan."
"MK seharusnya menjaga independensi, imparsiality, dan substansi putusan berkualitas dengan argumentasi yang kuat dan nalar yang jernih. Hakim harus secara sadar diri sebagai etical person, harus terhindar dari anasir control, intervensi dari pihak luar.
sementara, Direktur LIMA sekaligus pengamat politik, Ray Rangkuti, mengatakan bahwa demokrasi menjamin dengan bebas menyampaikan pendapat, untuk itu demokrasi ini harus dijaga dan dipertahankan.
"Jika demokrasi terancam maka bisa menyebabkan tragedi kemanusiaan. Pondasi demokrasi sekarang sedang digerogoti hampir dari semua aspek. Kebebasan berpendapat saat ini begitu mahal, karena ada intimidasi, dianggap penghinaan dan kemudian dipenjara," katanya.
Ia mencontohkan, penggerogotan demokrasi dapat dilihat misalnya melalui ada tentara nurunin baliho, revisi UU ASN yang membolehkan tentara menduduki jabatan sipil, dan masih banyak lagi.
"Makin jamak kita melihat tentara dilibatkan dalam pengamanan-pengamanan, menjaga pertandingan bola, menjaga institusi sipil dan seterusnya. Revisi UU KPK, UU Omnibus Law, revisi UU minerba, proses pembuatan kesemua UU itu dilakukan tanpa melibatkan masyarakat secara memadai," ujarnya.
Munculnya dinasti politik belakangan ini justru, menurutnya, memanfaatkan sistem demokrasi, dilahirkan oleh orang yang dipilih dalam sistem demokrasi.
"Saat ini terjadi kemunduran karena cita cita Reformasi yakni Demokrasi sudah memiliki banyak penurunan seperti banyak kebijakan dan regulasi yang tidak melibatkan masyarakat."
Baca juga: Imparsial: Keputusan MKMK Membuat Pencalonan Gibran Cacat Hukum dan Etika
"Dinasti Politik jelas merupakan penyimpangan dalam dunia demokrasi. Putusan No. 90 akan membuat klasifikasi pada anak muda kedepannya dan putusan 90 bukan merefleksikan atau memberikan anak muda kesempatan namun hanya memberi karpet merah kepada anak muda elit politisi saja. Putusan 90 hanya akan melanggengkan anak muda dalam konteks dinasti politik," tandasnya.