Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Hal itu dilakukan untuk menangani sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik terhadap Anwar Usman yang diterima MK beberapa waktu terakhir.
Adapun sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik itu mempersoalkan respons Anwar Usman pascaputusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023, yang menyatakan adik ipar Presiden Jokowi itu terbukti melakukan pelanggaran etik berat dan mencopotnya dari jabatan ketua MK.
"Sesuai dengan pidato perdana Ketua (MK, Suhartoyo), MKMK akan dibentuk permanen karena MKMK yang sekarang bersifat ad hoc," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, kepada Tribunnews.com, Kamis (23/11/2023).
Untuk diketahui, MKMK ad hoc sebelumnya dipimpin Jimly Asshidiqie, dengan Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih selaku anggota.
Baca juga: MK Jawab Surat Keberatan Anwar Usman soal Pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua
Mereka dibentuk untuk menangani 21 laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres cawapres.
Putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Anwar Usman sebagai ketua MK saat itu dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36).
Buntut putusan tersebut Anwar Usman pun dicopot dari jabatan Ketua MK karena diangga melakukan pelanggaran berat.
Baca juga: Jimly Anggap Wajar Anwar Usman Keberatan Suhartoyo Diangkat jadi Ketua MK
Setelah putusan MKMK, putusan MK 90/2023 pun digugat sejumlah Pemohon judicial review.
Di antaranya, Perkara 141/PUU-XXI/2023 dimohonkan oleh mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Brahma Aryana dan Perkara 145/PUU-XXI/2023 dimohonkan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dan Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar.
Terkait kedua perkara tersebut, Enny menyampaikan, hingga saat ini masih dalam pembahasan melalui rapat permusyarawatan hakim (RPH).
"Semua perkara sedang dibahas dalam RPH secara berurutan," ungkap Enny.