News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Ditolak MK, Penggugat Batas Usia Capres-Cawapres dari Unusia Khawatir Ada Dualisme Hukum

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Whiesa Daniswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Brahma Aryana dan kuasa hukumnya Viktor Snatosa Tandiasa berfoto bersama sebelum mengikuti sidang soal syarat usia capres dan cawapres di bawah 40 tahun di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023). MK kembali menggelar sidang soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun. Gugatan baru tersebut diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana. Brahma khawatir penolakan gugatan soal batas usia capres-cawapres oleh MK justru bakal menimbulkan dualisme hukum. Tribunnews/Jeprima

Namun, Bram menyayangkan, meski ada pendapat hukum semacam itu, MK justru menyatakan gugatannya tidak beralasan menurut hukum.

"Padahal, dalam pemohonan pun saya meminta syarat alternatif usia 40 adalah ia yang berpenglaman sebagai gubernur," tuturnya.

Dengan adanya putusan ini, Bram menilai adanya dualisme hukum yang mengikat.

"(Dualisme hukum yaitu) pertama, putusan 90, dengan mengatakan alternatif usia 40 yaitu jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected official), dan kedua, dalam pertimbangan hukum (putusan) 141 menegaskan alternatif usia 40 adalah jabatan gubernur," kata Bram.

Dualisme hukum ini, kata Bram, menunjukkan MK terbelenggu dengan nepotisme dari penguasa.

"Dan mirisnya lagi, kesemua proses ini dipertontonkan secara vulgar kepada publik, bagaimana peradilan konstitusi terbelenggu oleh rancangan nepotisme penguasa," pungkasnya.

Sebelumnya, Bram, lewat gugatannya, berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa maju capres-cawapres dan tidak berlaku untuk kepala daerah yang levelnya di bawah gubernur.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXV2A23 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'."

"Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi permohonan Brahma.

Salah satu alasan pengajuan gugatan itu adalah latar belakang putusan MK yang membuat pro-kontra.

"Terdapat persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'. Di mana tidak terdapat kepastian hukum pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

"Sehingga timbul pertanyaan, apakah hanya hanya pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi saja? Atau juga pada pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota? Atau pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota? Demikian pula pada pemilu pada pemilihan DPR saja? Atau pada tingkat DPRD tingkat provinsi saja? Atau kabupaten/kota saja? Atau pada kesemua tingkatannya, yakni DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota?" tanya Brahma.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Pilpres 2024

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini