News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2024

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jember Soroti Demoralisasi Demokrasi di Indonesia

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi aksi mahasiswa tentang politik dinasti.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jember menyoroti kemerosotan moral pada kehidupan demokrasi yang terjadi di Indonesia kini.

Ketua Bidang Hikmah PC IMM Jember, Ahmad Firdaus menyatakan bahwa, kemerosotan moral itu terjadi karena tumbuhnya dinasti politik.

"Indonesia hari ini memperlihatkan demoralisasi demokrasi, praktik politik yang tanpa nilai-nilai etika dan moral, jauh dari visi keummatan," kata Firdaus dalam keterangannya, Sabtu (23/12/2023).

Menurut Firdaus, praktik dinasti politik menutup adanya persaingan dalam suatu kontestasi.

Apalagi, jika ada berbagai macam kemudahan dan keistimewaan, dalam proses demokrasi yakni pemilu.

"Dinasti politik memang bukan soal prosedur tetapi soal etika dan moral," ujar dia.

Kondisi itu, kata Firdaus, telah membuat Indonesia terjatuh dalam kemunduran demokrasi, yang dapat dilihat dari beberapa aspek.

Mulai dari adanya keputusan capres/cawapres yang menguntungkan golongan tertentu, supremasi hukum yang pandang bulu.

Hal ini menurutnya telah menumbuhkan oligarki dan melahirkan banyak kebijakan yang lekat akan kolusi dan nepotisme yang membuat rakyat terdiskriminasi.

Sebab itu, IMM Jember menolak segala bentuk keputusan/kebijakan yang lekat akan kolusi dan nepotisme yang dapat menumbuh suburkan dinasi politik.

Selain itu IMM Jember juga menuntut negara untuk menegakkan supremasi hukum yang sebenar-benarnya.

"Menyerukan kepada masyarakat, khususnya generasi muda untuk cerdas dan cermat dalam menganalisa informasi dan selektif dalam memilih pemimpin di negara ini agar tidak terbelenggu dalam politik dinasti," pungkas dia.

Isu politik dinasti

Isu politik dinasti mencuat ketika Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka akhirnya menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Hal ini menjadi polemik lantaran adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Baca juga: Penegakan Hukum dalam Dinasti Politik Jokowi di Tengah Pencalonan Gibran sebagai Cawapres

MK lewat putusannya seakan memberi karpet merah kepada Gibran yang tadinya belum cukup umur untuk dijadikan sebagai cawapres.

Seperti diberitakan, pada 16 Oktober 2923 MK "mengizinkan: kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun.

Putusan itu menuai pro dan kontra, bahkan tak sepi dari kritik karena dinilai lembaga ini melampaui kewenangannya.

Sejumlah pihak menyebutkan, putusan MK ini semestinya menjadi wilayah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.

Selain dinilai melampaui kewenangannya, MK juga dianggap tidak konsisten dengan putusannya tersebut.

Putusan MK yang dinilai banyak kalangan lahir dari kepentingan politik, bukan semata-mata pertimbangan hukum.

Publik juga menilai putusan MK ini juga tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa upaya uji materi tersebut memang diperuntukkan guna memberi jalan politik bagi Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk berlaga di pemilihan presiden.

Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu, yang juga merupakan Paman Gibran akhirnya dicopot lewat keputusan MKMK.

"Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membacakan putusannya.

"Sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," sambungnya.

Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2023).

Sidang itu dipimpin oleh majelis yang terdiri atas Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie serta anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini