News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Perludem Minta Jokowi Cabut Pernyataannya soal Presiden Boleh Berpihak dan Kampanye: Terlalu Dangkal

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Suci BangunDS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Jokowi didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berbicara kepada pers usai menyaksikan penyerahan sejumlah Alutsista yang kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Perludem meminta Jokowi mencabut pernyataannya soal presiden boleh berpihak dan kampanye. Hal itu lantaran dianggap pernyataan dangkal.

TRIBUNNEWS.COM - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut pernyataannya terkait presiden boleh berpihak dan berkampanye.

Perludem menganggap, pernyataan Jokowi terlalu dangkal dan bisa menjadi alat pembenaran oleh pejabat negara lain untuk berpihak dalam Pemilu 2024.

"Pernyataan Presiden sangat dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenaran bagi Presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024," kata Direktur Perludem, Khoirunnisa Agustyati, dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Rabu (24/1/2024).

Khoirunisa menilai, munculnya pernyataan tersebut disampaikan Jokowi lantaran hanya merujuk pada Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Adapun bunyi pasal tersebut yaitu:

"Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:

a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Padahal, imbuh Khoirunisa, ada pasal lain dari UU Pemilu yang berisi terkait larangan kepada pejabat negara untuk menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu yaitu Pasal 282 yang berbunyi:

"Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak dan Ikut Kampanye di Hadapan Prabowo

Tak hanya itu, adapula Pasal 283 ayat 1 UU Pemilu yang berisi terkait pejabat negara maupun aparatur sipil negara (ASN) dilarang untuk berpihak kepada salah satu peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.

Adapun pasal tersebut berbunyi:

“Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.

Berdasarkan pasal di atas, Khoirunnisa mengungkapkan ada batasan jelas bahwa pejabat negara memiliki batasan untuk tidak melakukan keputusan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu tertentu.

"Dalam konteks ini, jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu," katanya.

Khoirunnisa mengungkapkan adanya aturan semacam ini demi memastikan pejabat negara tidak menyalahgunakan jabatannya dengan mendukung salah satu peserta pemilu.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini