TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mendesak kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menindaklanjuti surat edaran yang dikeluarkan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) tentang mekanisme atau tata cara quick count (hitung cepat).
“Terus KPU seperti apa, ini kan harusnya KPU, Bawaslu terhadap 81 lembaga survei yang disetujui untuk hitung cepat, norma etika dan aturannya seperti apa,” kata Ketua Tim Penjadwalan TPN Ganjar-Mahfud, Aria Bima, pada konferensi pers, Selasa (13/2/2024).
Dalam surat edaran Persepsi tegas dikatakan tentang bagaimana lembaga survei yang melakukan hitung cepat, harus berpegang teguh pada norma, bahwa anggota Persepsi harus berpedoman pada hitung cepat Pemilu 2024.
Setiap anggotanya yang melakukan hitung cepat, lanjut Aria, khususnya pemilu presiden dan wakil presiden tidak boleh mengklaim atau menyimpulkan apakah terjadi satu atau dua putaran apabila perolehan suara pasangan calon (paslon) tidak mencapai angka yang bulat.
Bulat disini, kata dia, harus di atas margin error, artinya di atas 51 persen.
Jika 51 persen dihitung dengan margin error maka angkanya turun menjadi 49 persen.
Dengan kata lain, lanjut dia, ketika masih dalam rentang margin error hitung cepat sebesar satu persen yaitu rentang 49-51 persen tidak bisa disimpulkan satu atau dua putaran.
“Ini yang kami minta ketegasan dari KPU dan Bawaslu, seperti menyikapi exit poll di luar negeri, sigap sekali. Kami ingin ada edaran dari KPU dan Bawaslu seperti yang dikeluarkan Persepsi, karena aturan di KPU nya masih normatif,” tegasnya.
Dalam edaran Persepsi dijelaskan, quick count dimaksudkan untuk mengetahui secara cepat hasil penghitungan suara, namun hasil akhir tetap mengacu pada penghitungan manual dan disampaikan resmi oleh KPU.
Ditambahkan Aria, Persepsi juga mengatakan pelaksanaan hitung cepat pilpres tingkat nasional, mempublikasikan hasilnya harus melalui saluran televisi, media cetak, online dan lainnya, agar mengirimkan laporan lengkap yang terdiri dari metodologi pelaksanaan hitung cepat, daftar TPS (Tempat Pemungutan Suara) sampling dan di dalamnya mencakup hasil perolehan suara per TPS, foto, dashboard IT hitung cepat yang menampilkan stabilitas suara akhir, dan laporan lengkap hitung cepat hasil pilpres diterima paling lambat 16 Februari 2024.
“Kita merespon luar biasa surat edaran Persepsi ini. Jangan begitu 03 menang mutlak di luar negeri berdasarkan exit poll, kemudian Bawaslu cepat-cepat menggelar konferensi pers untuk mengatakan bahwa itu adalah hoaks,” sindir Aria yang juga politisi senior PDI Perjuangan itu.
Dijelaskannya, kesigapan Bawaslu itu adalah bentuk antisipatif, kemudian Bawaslu menegaskan akan ada penghitungan suara di 14 Februari.
“Jadi exit poll tidak ada di luar negeri, kalau exit poll yang menang 02, kira-kira Bawaslu akan begitu gak, kan ini persoalannya,” papar Aria.
Kenapa begitu sigapnya, kata dia, begitu cepatnya ketika 03 unggul hampir 80 persen pemungutan suara di luar negeri.
“Silahkan jika itu antisipasi agar tidak menimbulkan kebingungan, yang penting tetap dalam posisi netral Bawaslu maupun KPU,” ujarnya.
Baca juga: Pengertian Quick Count, Real Count, dan Exit Poll dalam Pemilu
Quick Count Jangan Menimbulkan Persepsi Menyesatkan
Lebih lanjut TPN Ganjar-Mahfud juga menegaskan bahwa quick count (hitung cepat) jangan sampai menimbulkan persepsi yang menyesatkan.
Pasalnya, penyesatan itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan bisa mencederai kedaulatan rakyat yang menentukan siapa calon pemimpinnya.
“Jadi jangan menimbulkan persepsi yang menyesatkan, karena sangat berbahaya untuk demokrasi dan bisa mencederai kedaulatan rakyat yang menentukan siapa calon pemimpinnya,” ujar Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis.
Dia menambahkan, hasil hitung cepat tersebut bukanlah hasil resmi karena hasil penghitungan finalnya adalah penghitungan manual yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), satu bulan setelah pelaksanaan pemungutan suara.
Menurutnya, sejauh ini ada kegelisahan dan keresahan di ruang publik, karena ada pertanyaan mengenai kredibilitas, seperti yang dulu dialami saat pelaksanaan pilpres sebelumnya. Kenapa demikian? Karena tidak mencerminkan output dari hasil sebenarnya dari pencoblosan itu sendiri.
“Pertanyaannya, apakah quick count itu fair atau tidak, apakah quick count itu imparsial atau tidak, apakah quick count itu bebas atau tidak, ini menjadi pertanyaan yang muncul setiap pelaksanaan pilpres,” tegasnya.
Kemudian, lanjut Todung, apakah quick count itu bisa dipakai oleh pihak-pihak tertentu, apakah bisa dipakai oleh pasangan calon (paslon) tertentu yang merupakan bagian dari pengkondisian.
“Nah itulah bagian yang menjadi concern kita,” tegasnya.
Dia menambahkan, potensi hasil hitung cepat menjadi bagian pengkondisian kemudian dijustifikasi menjadi output pilpres, kondisi tersebut mungkin saja bisa terjadi.
“Banyak sekali pemberitaan di media yang menyatakan paslon 02 targetnya itu satu putaran. Boleh saja, tapi quick count tidak bisa menjustifikasi itu. Karena hasil resmi baru diumumkan satu bulan setelah hari pemungutan suara, dan melalui proses penghitungan manual,” jelasnya. (*)