Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid memandang apa yang terjadi dalam Sidang ICCPR Komite HAM PBB di Jenewa Swiss pekan lalu adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah.
Karena, lanjut dia, selama ini Komunitas internasional memandang Indonesia mampu menegakkan pemilu yang bebas, jujur, dan adil sebagai pelaksanaan dari Kovenan Hak Sipol.
Baca juga: Tolak Kecurangan Pemilu 2024, Massa Aksi Minta KPU Hentikan Penghitungan Suara
"Dengan adanya pertanyaan Komite HAM, maka pemilu Indonesia mulai dippertanyakan integritas dan kredibilitasnya," kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Senin (18/3/2024).
Pemilu Indonesia, kata dia, meski tidak sempurna cenderung selalu diukur dengan ada tidaknya kejanggalan atau ketidakberesan dalam tiga hal.
Pertama, kata dia, apakah setiap tindakan, prosedur, dan keputusan Pemerintah terkait proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum.
Kedua, lanjut dia, pemilu melindungi atau memulihkan hak pilih.
Baca juga: Hasto Nilai Pemilu 2024 Perpaduan Sempurna Seluruh Kecurangan Pemilu 1971 dan 2009
Ketiga, kata dia, negara memungkinkan warga yang meyakini hak pilih mereka telah dilanggar masih dapat secara bebas mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
"Nah, Indonesia mulai memiliki tantangan serius pada pada Pemilu 2019 ketika terjadi kekerasan dan penggunaan kekuatan aparat yang eksesif di depan Bawaslu," kata dia.
"Tantangan terbaru adalah di Pilpres 2024 di mana banyak sarjana dan pengamat mulai mengkhawatirkan netralitas Polri dalam pemilu, artinya pemilu diduga tidak berjalan sesuai dengan asas bebas, jurdil," sambung dia.
Dipertanyakan Anggota Komite HAM PBB
Dilansir dari Kompas.com, Anggota Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden tahun 2024 dalam sidang ICCPR di Jenewa pada pekan lalu.
Ia menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melanggengkan jalan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mengikuti kontestasi pilpres.
Putusan dimaksud yakni putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di mana MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan tersebut.
Ndiaye mengatakan kampanye calon presiden dan calon wakil presiden terjadi usai putusan tersebut keluar.
Baca juga: Ikut Aksi di KPU, Eks Danjen Kopassus Sebut Sudah Ketahui Kecurangan Pemilu Jauh Sebelum Digelar
"Kampanye terjadi setelah keputusan pengadilan pada menit-menit terakhir yang mengubah kriteria kelayakan yang memungkinkan putra presiden untuk ikut serta dalam Pemilu," kata Ndiaye dalam Sidang ICCPR Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pekan lalu, dikutip dari UN Web TV pada Senin (18/3/2024).
Ndiaye juga mempertanyakan langkah apa yang diambil Indonesia untuk memastikan pejabat tinggi, termasuk Jokowi tidak memberikan pengaruh atau intervensi yang berlebihan terhadap proses Pemilu.
Ia juga bertanya apakah Indonesia sudah melakukan penyelidikan untuk mengusut dugaan-dugaan itu.
"Langkah-langkah apa yang diterapkan untuk memastikan bahwa pejabat tinggi termasuk presiden dicegah untuk memberikan pengaruh yang berlebihan terhadap proses Pemilu," kata dia.
Saat diberikan kesempatan, Indonesia yang diwakili Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye.
Tri justru menjawab masalah Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya, seperti soal kasus aktivis Haris dan Fathia yang belum lama dinyatakan bebas hingga kasus Panji Gumilang.