"Pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu," ujar Arief.
Karena itu, menurut dia, MK sepatutnya tidak boleh hanya sekedar berhukum melalui pendekatan yang formal-legalistik-dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural dalam hal mengadili sengketa Pilpres 2024.
MK seharusnya perlu berhukum secara informal-nonlegalistik-ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," ujar Arief.
"Tindakan ini secara jelas telah mencederai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan lemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada titik inilah Pemerintah telah melakukan pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis," katanya.
Pemungutan Suara Ulang
Dalam dissentingnya, Arief mengabulkan sebagian permohonan yang dilayangkan kubu Anies-Muhaimin untuk dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah wilayah.
"Mengabulkan permohonan untuk sebagian, memerintahkan a revote in Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara," ujar Arief.
(Tribunnews.com/ kompas.com/ kompas.tv)
Poin Penting Dissenting Opinion 3 Hakim MK Terkait Hasil Pilpres 2024, Singgung Presiden Biang Gaduh
Sosok 3 Hakim MK Berani Dissenting Opinion Terkait Hasil Pilpres 2024, Singgung Presiden Biang Gaduh