TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks hakim konstitusi, Aswanto mengatakan partai politik (parpol) peserta pemilu bakal terdampak jika pemungutan suara ulang (PSU) dilakukan.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi ahli dari PAN selaku pihak terkait dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Adapun sidang perkara nomor 66-01-04-30/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini dimohonkan Partai Golkar terkait PHPU DPR RI daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Barat.
Golkar mempersoalkan adanya pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang menggunakan hak pilih memakai KTP elektronik yang tidak sesuai dengan alamat tertera.
Sehingga dalam petitumnya Golkar meminta PSU sepanjang Dapil Sulawesi Barat untuk pengisian keanggotaan DPR RI di 35 TPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu 14 hari.
“Ada potensi pergeseran suara tidak hanya akan berdampak pada pihak-pihak yang bersengketa di MK," kata Aswanto di ruang sidang.
"Parpol-parpol di urutan teratas, ada kemungkinannya akan kehilangan suaranya, akan hilang kursinya, dengan saat yang sama mereka tidak punya lagi peluang untuk mengajukan perselisihan hasil di MK. Sebab terkendala dengan batas waktu pengajuan sengketa," sambungnya.
Baca juga: Penyebab Rusuh Saat PSU di Papua, PPD Tinggalkan Penghitungan Suara Tanpa Informasi
Untuk dilakukan PSU, lanjut Aswanto, harus benar-benar dapat dibuktikan pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS itu.
Hal ini penting untuk menentukan jenis pemilihan mana yang akan diulang.
Selain itu, hal-hal yang berkaitan dengan administrasi tidak boleh menghilangkan hak konstitusional setiap orang sepanjang dapat dibuktikan memiliki hak pilih dan tidak menggunakan hak pilihnya di tempat lain.
Di sisi lain, saksi-saksi dari pemohon mengatakan terdapat orang-orang yang tidak memiliki KTP elektronik (KTP-el), tetapi masuk dalam DPT, tidak berada di alamat sesuai lokasi TPS, serta ber-KTP di luar lokasi TPS atau bukan penduduk setempat.
Ada pula pemilih yang ber-KTP di luar Sulawesi Barat tanpa menyertakan surat pindah memilih.
“Dua pemilih tidak memenuhi syarat untuk memilih karena bukan penduduk setempat, saya lihat di daftar DPK,” kata Rahman Zainuddin, salah satu Saksi dari pemohon.
Namun, para saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon membantah tuduhan tersebut.
Anggota KPU Kabupaten Polewali Mandar, Rudianto menjelaskan pemilih atas nama Soleh terbukti mempunyai KTP-el yang menyatakan penduduk Desa Mirring Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar, bukan seperti yang disebut pemohon bahwa Soleh ialah warga Kalimantan.
Baca juga: Mantan Hakim MK Beberkan Modus Penyelenggara Pemilu Kurangi Suara Berdalil Salah Tulis
Sebagai informasi, Partai Golkar dalam permohonannya mendalilkan pelanggaran-pelanggaran pemilu terjadi di 36 TPS di sejumlah daerah seperti Kabupaten Mamuju Tengah, Polewali Mandar, Mamasa, Pasang Kayu, dan Mamuju. Pemohon mencontohkan, terjadi pelanggaran di TPS 4 Kelurahan/Desa Batetangnga Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar berupa pernyataan partisipasi pemilih mencapai 100 persen, padahal dalam DPT tersebut terdapat data empat pemilih telah meninggal dunia dan satu pemilih sedang merantau ke Kalimantan.
Selain itu, pelanggaran di TPS 1 Kelurahan/Desa Talopak Kecamatan Tabulahan Kabupaten Mamasa terjadi pencoblosan kertas suara yang mewakili 23 orang disabilitas padahal di TPS tersebut tidak ada data pemilih disabilitas. Menurut Pemohon, sangat beralasan hukum untuk dilakukan Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS di lima kabupaten untuk pemilu DPR RI Dapil Sulbar