Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan terkait hak presiden berkampanye dalam Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini diajukan oleh empat orang Pemohon, yakni La Ode Nofal, Arimansa Eko Putra, La Ode Arukun, serta Risard Nur Fiqral.
Baca juga: Ahli Hukum Sebut Pengangkatan Ketua MK Pengganti Anwar Usman Bisa Dibatalkan, Ini Alasannya
Adapun Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, ...". Sedangkan, Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Presiden dan/atau Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.".
Para Pemohon menilai , kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Selain itu, aturan dalam kedua pasal yang diuji tersebut dinilai sangat berpotensi terjadinya keberpihakan Presiden dan Wakil Presiden kepada peserta pemilu tertentu.
Baca juga: Kawal Judicial Review UU Cipta Kerja, Hari ini Ribuan Buruh Geruduk MK dan Istana Negara
Menurut para Pemohon, Presiden dan/atau Wakil Presiden haruslah bertindak untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan bagi semua dengan tidak memihak dan/atau bersikap netral.
"Bahwa Ketentuan Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tersebut yang memberikan dasar bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk terlibat dalam proses suksesi nasional berupa kampanye sehingga ketentuan a quo dapat menjadi jalan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mendukung atau melakukan keberpihakan kepada pasangan Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden lain yang berlaga di dalam Pemilu Pilpres," kata Pemohon Nofal dalam sidang panel untuk perkara nomor 55/PUU-XXII/2024 ini, dikutip dari laman YouTube MK, pada Selasa (9/7/2024).
Pemohon kemudian menjelaskan, walaupun Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kewenangan untuk dapat berkampanye, hal itu seharusnya dimaknai sebagai dia yang berstatus sebagai petahana dan berkampanye untuk dirinya sendiri. Terlebih, konstitusi memberikan hak bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk dua kali masa periode.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "hanya berlaku bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berstatus sebagai petahana (incumbent) dan mencalonkan diri kembali berkampanye untuk dirinya sendiri.".
Merespons paparan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, para Pemohon dapat menambahkan studi perbandingan dengan negara lain terkait isu yang dipersoalkan.
"Supaya bisa membuka cakrawala kalau di negara lain itu bagaimana," kata Arief, saat memberikan nasihat dalam persidangan.
Baca juga: Ketua MK Suhartoyo Jelaskan Alasan Sengketa Pilkada Jadi Kewenangan Permanen Mahkamah Konstitusi
Tak hanya itu, Arief juga menuturkan, pendapat para Pemohon senada dengan pendapatnya terhadap hal yang dipersoalkan dalam perkara ini dan menyarankan para Pemohon untuk membaca dan memahami dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam Putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden 2024.
"Jadi di Indonesia itu tidak hanya sekadar menganut rule of law tapi (juga) rule of etic. Karena di balik rule of law harus ada rule of etic. Artinya, secara etika atau moral enggak pantas dong kepala negara atau Presiden ikut kampanye untuk mendukung salah satu calon," ucap Arief kepada para Pemohon.