8. Heru Sudjarmoko (3,3%)
9. Riyanta (2,8%)
10. Casytha Arriwi (2,3%)
- Belum memberikan pilihan 10,4%.
Menurut Alamsyah, tingginya tingkat keterpilihan Witjaksono memiliki hubungan yang signifikan dengan kriteria dan latar belakang kepala daerah Jawa Tengah yang di inginkan masyarakat Jawa Tengah.
Di mana sebanyak 33,7% responden ingin berlatar belakang pengusaha atau wiraswasta seperti Jokowi, sebanyak kalangan pemimpin agama 17,1%, kemudian politisi 10,1%, kalangan Kampus 7,3% dan TNI-Polri-ASN 20,2 %, selebihnya 11,6%
Baca juga: Pilkada 2024: Tempuh 178 Km, KPU RI Pantau Langsung Coklit Suku Anak Dalam
Kemudian survei juga mensimulasikan pasangan Hendrar Prihadi-Sri Mulyani yang beraliran nasionalis-nasionalis. Adapun Kaesang dipasangkan dengan Witjaksono yang juga merupakan kader Nadliyin sebagai Ketua Umum SNNU (Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama).
Begitu juga Ahmad Lutfie - Taj Yasin juga dari kalangan Nadliyin, serta Sudaryono dan Umi Azizah, di mana Umi Azizah merupakan Ketua Muslimat NU Tegal.
Dari simulasi empat pasang cagub-cawagub, jika dipasangkan, pasangan Kaesang-Witjaksono dengan patron politik Nasionalis-Nadliyin memiliki peluang menang tertinggi, jika pemungutan suara digelar hari ini.
"Dalam simulasi empat nama pasangan cagub-cawagub hasil survei menunjukan pasangan Kaesang-Witjaksono tingkat keterpilihannya paling tinggi mencapai 34,3% jika Pilkada Jateng digelar hari ini," kata Alamsyah.
"Di urutan kedua Sudaryono-Umi Azizah dengan 29,6% kemudian Ahmad Luthfi -Taj Yasin 15,4%, pasangan Hendrar Prihadi-Sri Mulyani yang hanya meraih 13,3 %, Kemudian sebanyak 7,4% responden masih belum menentukan pilihan mereka," tambahnya.
Sejalan dengan survei tersebut, Aktivis Nahdatul Ulama, Rikal Dikri Muthahhari menilai, pasangan Kaesang-Witjaksono jadi duet muda dan energik.
"Pertama secara psikologis keduanya Kaesang dan Witjaksono adalah sosok muda dan energik, sudah pasti paham apa yang diinginkan anak muda. Kalau kita melihat kepemimpinan politik di dunia ini, saya kira sudah bergeser ke arah kepempinan kaum muda," ujarnya.
Alasan kedua, kata Rikal, di Indonesia selalu ada kombinasi antara kaum nasionanalis dan religius.