Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pilkada Serentak 2024 dinilai akan menguatkan hegemoni calon tunggal.
Bahkan, jumlah calon tunggal yang akan melawan kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 diyakini akan bertambah di berbagai daerah.
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan upaya mengonsolidasikan pencalonan pada Pilpres 2024 dalam Pilkada 2024 memungkinkan berpotensi membuka peluang terjadinya calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024.
Baca juga: Golkar Dukung Dedi Mulyadi Maju Pilkada Jabar, Sinyal Ridwan Kamil ke Jakarta, Bagaimana Kaesang?
Untuk itu, ia mencontohkan upaya konsolidasi partai-partai politik (parpol) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.
Ia memandang upaya tersebut berpotensi memunculkan calon tunggal di sejumlah daerah dalam Pilkada Serentak 2024.
"Sebut saja misalnya di Banten, Kalimantan Timur, Jambi untuk tingkat Provinsi. Yang berikut juga kalau di daerah misalnya potensi di Labuhan Batu Utara, Lingga, Maros, Passer, Sumenep. Kalau di tingkat kota ada di Batam," kata dia.
Baca juga: PDIP Dorong Tri Rismaharini di Pilkada Jawa Timur, Begini Respons Emil Dardak
"Ini beberapa data yang muncul. Bisa jadi deadlock (kebuntuan) pencalonan menjelang pendaftaran calon juga nanti akan menambah daftar daerah-daerah yang calon tunggal," sambung dia.
Menurut Titi, menguatnya hegemoni calon tunggal dalam Pilkada 2024 disebabkan sejumlah faktor di antaranya karena calon tunggal menjanjikan kemenangan.
Ia mengatakan sejak 2015 sampai 2020 tercatat terdapat 52 dari 53 Pilkada di berbagai daerah yang dimenangkan oleh calon tunggal.
Dari data tersebut, kata dia, kemenangan calon tunggal melawan kotak kosong mencapai 98,11 persen.
Selain itu, lanjut dia, lebih dari 80% dari total 52 calon tunggal yang memenangkan Pilkada sejak 2015 sampai 2020 tersebut adalah petahana.
Selain itu, kata dia, dominasi sentralisasi pencalonan dan otoritas penuh pada ketua umum partai untuk membuat keputusan.
"Dialektika dan diskursus di media kita itu terlihat sekali bagaimana kontrol dan kendali ketua umum partai dalam proses pencalonan. Apa-apa ditentukan oleh DPP (dewan pimpinan pusat) untuk akses pencalonan ke Pilkada di daerah," kata dia.
Selain itu, kata dia, kondisi parpol yang belum sepenuhnya pulih dari sisi soliditas internal, keuangan, dan pemenangan pasca pemilu serentak 2024 (Pilpres dan Pileg) membuat partai lebih terdorong untuk pragmatis dalam bersikap.
"Dan lebih beroririentasi ya sudahlah kita bagi-bagi lapak saja daripada kemudian dia tambah berdarah-darah keluar uang dan dari sisi kerja kelembagaan," sambung dia.
Calon Tunggal Berbahaya
Fenomena calon tunggal dalam Pilkada dinilai berbahaya.
Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memangdang fenomena tersebut sebagai gejala otoritarianisme politik.
Menurut dia hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
Baca juga: Dedi Mulyadi Didukung Golkar Maju Pilkada Jawa Barat, Bagaimana Elektabilitasnya?
Begitu partai parpol atau koalisi parpol mengajukan calon tunggal, menurutnya dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.
Dengan melihat esensi tersebut, menurutnya calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.
"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amruddin.
Selain itu, menurut dia fenomena calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan.
Salah satu caranya, lanjut Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.
Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya, maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada.
Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.
"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," katanya.
"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut Amiruddin.
Menurut dia calon tunggal juga merupakan upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan banyak aktor.
Dalam ilmu politik, kata Amiruddin, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.
"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata dia.