News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Dissenting Opinion Hakim Guntur Hamzah: Saya Tak Ragu Tolak Putusan Syarat Pengusungan Pilkada

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pengusungan di Pilkada.

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait syarat pengusungan di Pilkada.

Syarat pengusungan berkenaan ambang batas minimal dan perizinan bagi partai non seat DPRD tersebut dinyatakan MK melalu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Dalam Putusan a quo, hakim konstitusi M Guntur Hamzah berposisi dissenting opinion alias berpendapat berbeda daripada tujuh hakim yang mengabulkan perkara ini.

"Sekali lagi, tidak ada keraguan bagi saya untuk menolak permohonan para Pemohon dalam perkara a quo," ucap Guntur, dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Guntur menyoroti pentingnya untuk mencermati kembali kata “demokratis” dalam pasal a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Ia mengatakan, melalui pemahaman terhadap kata “demokratis”, maka sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk menggunakan satu model tertentu dalam pemilihan kepala daerah, karena yang terpenting kepala daerah yang terpilih adalah representasi suara rakyat di daerah. 

"Apapun modelnya, baik melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, maupun melalui cara lain yang diatur dalam undang-undang merupakan model yang demokratis," kata Guntur.

Model demokrasi a quo yang diterapkan di Indonesia dewasa ini, oleh banyak ahli menyebutnya sebagai demokrasi asimetris (asymmetric democracy), bahkan lebih spesifik lagi disebut juga sebagai Pilkada Asimetris. 

Terkait dasar pemikiran tersebut, Guntur kemudian mengatakan, dalam konteks Pilkada, selain menerapkan demokrasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat di masing-masing daerah, juga diberlakukan model tanpa pemilihan seperti yang berlaku di Provinsi Yogyakarta, dimana Sri Sultan Hamengkubuwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat secara otomatis menjadi Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan Paku Alam secara otomatis menjadi Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Demikian juga pada jabatan walikota dalam lingkup DKI Jakarta. Menurutnya, para walikota dimaksud tidak dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan ditentukan melalui pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta.

Sedangkan, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sendiri dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah.

Sementara itu, di Provinsi Aceh lain lagi, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat Aceh, namun partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah mengakomodir juga calon yang diajukan oleh partai politik lokal di Aceh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah di Aceh.

Lebih lanjut, Guntur menuturkan, ia memandang perbedaan mekanisme demikian bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan menjadi domain pembentuk undang-undang untuk menentukan pilihan kebijakan yang terbaik dan adil dalam mendukung terwujudnya prinsip pemilu yang bersifat demokratis serta mengatur persyaratan dan mekanisme apa yang hendak dipilih dalam pencalonan kepala daerah.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini