Harga tenun bervariasi, mulai dari harga Rp 350.000 hingga Rp 750.000.
"Saya tidak jual ke pasar, saya hanya tunggu di rumah saja, karena banyak orang sudah mengetahui bahwa saya juga penenun. Jadi orang datang beli langsung di rumah," ujarnya.
Ia mengaku anak-anak perempuannya juga sudah bisa menenun. Ia terus membimbing anak-anaknya agar semakin terampil menenun, sehingga warisan lelulur mereka tetap lestari.
Ia mengaku kesulitan yang ia rasakan saat ini adalah harga benang. Harga benang kadang-kadang naik, dan itupun baginya sulit mendapatkan benang.
Ia juga tidak menginginkan agar warisan leluhur hilang begitu saja, akan tetap sebagai generasi muda, menenun harus tetap ada sampai kapanpun.
Tak hanya di Talibura, warga yang terampil menenun kain ikat ada juga di Kampung Palue Ona Nangahure, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka.
Di sebuah rumah pondok, beberapa mama atau ibu-ibu, berkumpul sembari menarik-narik untaian benang. Seorang di antaranya sedang menggerakkan alat tenun sembari selonjor.
Di dinding pondok, terpajang sejumlah sarung tenunan mereka.
Warga setempat menyebut pondok itu Lo'a. Atau pondok tempat menyimpan hasil dari kerja jerih payah mereka.
Bisa hasil panen, dan juga jadi tempat saling menumbuhkan ide, tempat cerita atau diskusi menghasilkan sesuatu yang berguna.
Tempat itulah yang digunakan oleh belasan warga di Nangahure Ona untuk menghasilkan sarung tenun ikat yang berkualitas.
Pada setiap hari, di Lo'a itu sangat ramai. Mama-mama mulai melakukan aktivitas mereka menyulam benang menjadi sarung hingga bisa menghasilkan uang demi kebutuhan hidup mereka.
Lo'a itu lah tempat mereka bisa mengumpulkan keping-keping rupiah agar asap dapur tetap mengepul, hingga anak-anak bisa sekolah.
Menariknya, mereka kerja secara berkelompok dan membentuk kelompok tenun ikat Ulimuri.