Laporan Reporter Tribun Flores.com, Gordy Donofan
TRIBUNNEWS. COM, MAUMERE - Bocah bernama Hilarius Febriano Ngaji (11) terlihat keluar masuk kamar dalam rumahnya di kampung Uwa, Desa Maluriwu, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (24/10/24) sekitar pukul 19.00 WITa.
Beberapa kali tangan kirinya menggaruk kepala sedangkan tangan kanannya memegang sebuah buku tulis dengan pulpen.
Tak lama mondar-mandir, ia menuju meja belajar. Ia membuka lembaran buku lalu sedikit menunduk.
Ia membolak-balikkan setiap lembar buku dan mencatatnya di bawa terang bola lampu surya 10 watt.
Siswa kelas VII SMP Rokatenda itu fokus belajar dan mengerjakan tugas. Suasana sangat hening membuat dia nyaman belajar malam itu.
Mengenakan kaus oblong berwarna merah marun dengan celana pendek hitam, ia tenang dan fokus. Sementara kedua orangtuanya sibuk menyiapkan makan malam di dapur.
Setelah hampir satu jam belajar, Hilarius berhenti sejenak untuk ikut santap malam bersama kedua orangtuanya.
Sesudah makan malam, ia kembali ke meja belajar untuk melanjutkan aktivitasnya. Hal itu yang saban hari dia lakukan sejak listrik masuk di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, NTT.
Di pulau terpencil ini, tahun 2021 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) PT PLN sudah menerangi tujuh desa.
Kini pelajar di sana tambah semangat belajar untuk menggapai cita-cita yang cerah seperti terang lampu surya PLTS.
"Setiap malam saya belajar. Sekarang sudah ada listrik jadi sangat senang, kalau dulu masih pelita semangat belajarnya kurang,"ujar Hilarius seusai belajar.
Jauh sebelum listrik masuk, dia bersama pelajar lainnya belajar diterangi pelita yang dibuat dari kaleng bekas diisi minyak tanah. Harga minyak tanah pun terbilang mahal, per liter mencapai 10 ribu rupiah.
Belajar menggunakan cahaya lampu pelita tentu tidak baik bagi kesehatan. Nyala sumbunya menghasilkan asap hitam pekat.