Menurut Ndingga jeratan Woda bukan jeratan bisa sehingga harus dilangsungkan upacara adat.
Bersama warga kampung mereka lalu melakukan upacara adat di mata air, dekat tempat Woda memasang jerat.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pemotongan hewan dan gawi (gawi: tarian adat).
Namun sebelum gawi mereka sumpah adat bahwa ketika terjadi sesuatu selama gawi, setiap orang tidak boleh lari, kalaupun lari, tidak boleh menoleh ke belakang.
Selama gawi berlangsung hujan turun. Ndingga enam kali bertanya kepada saudara-saudarinya, 'air sudah sampai mana'. Nampaknya ketika mulai gawi air pelan-pelan mengenangi mereka.
Sampai air menjangkau leher mereka, ada warga lari, ada yang bertahan, dan tiba-tiba kampung mereka di atas bukit roboh ke bawah mata air air dan terbentuklah Danau Tiwu Sora.
Gregorius menceritakan, pada bulan Januari dan Februari ada belut, ikan dan katak emas sering muncul ke pinggir Danau Tiwu Sora.
Lanjutnya, katak di Danau Tiwu Sora pun berbeda. Warga menyebutnya Leko Wea (Katak Emas) karena kulitnya bercahaya seperti emas.(Tribunnews.com/TribunFlores/PosKupang/Kristin Adal)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Indah dan teduhnya danau tiwusora tempat wisata di ende yang cocok untuk healing