Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa perkumpulan yang mengatasnamakan ormas, melakukan beberapa tindakan yang meresahkan.
Di Jakarta, misalnya. Beberapa kelompok/ormas justru kerap melakukan penguasaan sepihak terhadap lahan-lahan kosong, melakukan pemalakan dengan dalih untuk keamanan serta kerap menjadi 'pasukan sewaan' untuk kepentingan tertentu.
Hal inilah yang menjadi dasar bagi Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan revisi Undang-undang tentang keormasan. Mereka menyebut, bahwa UU Ormas yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan tidak layak pakai.
Wahyu Wagiman, Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), kepada Wartakotalive.com mengungkapkan, upaya pemerintah untuk merevisi UU No. 8 tahun 1985 atas alasan tersebut tidak tepat.
Pasalnya, pengetatan pembentukan Ormas yang ada di dalam RUU Ormas tersebut, kata Wahyu, justu akan mematikan semangat berkumpul masyarakat.
"Banyak sekali komunitas atau kelompok akan terkena dampaknya jika RUU Ormas tersebut disahkan, salah satunya syarat yang tertuang dalam RUU Ormas pasal 61 tentang aturan ormas yang harus memiliki badan hukum dan soal pendanaan. Seperti kelompok hobi, seni, budaya bahkan kelompok pengajian yang merupakan wadah masyarakat yang memiliki keinginan mencapai tujuan tertentu, mereka bakal terancam," ujarnya di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).
Padahal, menurut Wahyu, jika ada kelompok atau ormas yang menggunakan kekerasan dalam praktiknya, sudah ada KUHP yang mengatur sebagai sarana untuk menindaknya.
"Dan misalnya ada indikasi mengenai asal-usul penggunaan dana atau aliran dana yang diperoleh merupakan bagian dari praktik pencucian uang, itu kan sudah ada sanksi yang diatur dalam UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga tidak perlu diatur di dalam UU atau RUU Ormas," kata Wahyu.